Senin, 19 Maret 2012

Tuan Takur dan Tanah Adat Tassese (1)


Saat hujan pertama turun setelah kemarau panjang, sebagian anak buah Tuan Takur tidak sedang membayangkan keindahan air. Air yang terus memantulkan cahaya kecil dari matahari terselip sekapas awan. Air yang akan membanjiri dahaga petani kerena sejak enam bulan lalu sawah begitu menyesakkan nafas kerjanya. Air kemudian akan meresapi tanah, terus menyusupi serat akar tanaman. Aku ulangi, tidak semua anak buah Tuan Takur sedang membayangkan keindahan air yang terjun lepas dari pohon langit.


Sebagian itu sedang menghidu wangi tanah, juga aku. Wangi yang hanya mampu memanjakan indera hidung saat hujan pertama turun. Tanah bukan hanya dekat dengan kakiku yang rendah tertunduk, bahkan hidungku yang pesek, namun tetap menyombongkan keistimewaannya. Saat tubuh terjatuh oleh gundukan tanah kecil pun, aku masih begitu merendahkan tanah dengan menjauhkannya dari tubuh. Menggunakan tangan, untuk membersihkan tanah yang kuanggap kotoran bagi tubuhku. Apakah benar aku berasal dari tanah hingga begitu terasa jauh dari tanah?

Saat hidup aku membutuhkan tanah untuk berpijak, membuat rumah, bahkan menanami tumbuhan dan memelihara hewan untuk memenuhi kekosongan isi perutku jika aku lapar. Kelak, anakku juga akan seperti aku, membutuhkan banyak tanah untuk cucuku. Nanti, saat aku mati di tengah-tengah keluarga besarku, aku masih juga membutuhkan tanah untuk menyembunyikan tubuhku yang pernah merasa kotor dan menjauhi tanah.

Di sebuah tanah tidak bertuan (yang dulu bertuan), hadirlah seorang gadis cantik yang bertubuh gempal besar. Dengan menyebut satu kalimat saja, orang-orang yang pernah mengenalnya akan segera tahu itu adalah dia. Lagu Hindi. Bukan aku tidak menghendaki untuk menceritakan secara sempurna tokoh gadis ini, hanya saja sudah cukup jelas lagu Hindi akan membedakannya dari semua volunteers yang pernah mengajar di Tassese.

Pertemuan pertama Karina dengan anak-anak di Tassese adalah awal musim penghujan 2009. Dihadapan anak-anak, Karina dengan riangnya menyanyikan lagu kesayangannya. Lagu yang awalnya tidak berbekas dalam pengalaman anak-anak. Tetapi kini tidak lagi, karena lantun suara Karina yang menghibur di selah-selah proses berpengetahuan, menyisakan pengalaman unik diri Karina di hati anak-anak.

Dalam film-film Bollywood, ada beberapa kategori yang akan menghiasi ceritanya, bahkan sebuah keharusan untuk ada. Pertama adalah tarian. Tarian adalah ekspresi berwujud gerak, hasil interpretasi manusia atas alam yang terus berubah dari titik awalnya. Kedua adalah nyanyian. Begitu banyak koleksi suara yang pernah menimpali telinga manusia. Bahkan bunyi alam pun memiliki keteraturan nada yang indah. Nyanyian adalah keteraturan yang direproduksi manusia-manusia untuk saling berseni dalam komunikasinya. Ketiga adalah Tuan Takur. Tuan kejam yang memiliki tanah yang sangat luas. Entah bagaimana cerita awalnya, hingga aku akan menyebut kalimat “Tuan Takur” untuk menujuk pemilik tanah yang lebih luas dari orang-orang yang ada di sekitarnya.

-Agung Prabowo-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar