Sabtu, 13 Juli 2013

Kopi Le'leng Daeng Selo

Perjalanan sedikit berbeda. Di sisi kanan jalan, beberapa warga seketika sibuk mengumpulkan gabah yang dijemurnya. Kebanyakan dari mereka perempuan. Dari yang kulihat, hanya seorang bapak yang turut mengumpulkan gabah. Perlahan, berkah langit mengguyur Desa Mannuju.




Setelah Desa Mannuju, kami akan masuk ke wilayah Desa Tassese. Sepanjang Mannuju, hamparan gabah menjadi hiasan di atas terpal jalanan. Tak hanya itu, ada satu hasil bumi lainnya yang asing di pandanganku. Biji-biji berwarna merah, tapi ada pula yang tampak kehitaman. Aku belum pernah melihat semacam itu sebelumnya. Sesampainya kami di Tassese, di rumah Pak Lawang, aku bercerita tentang biji-biji berwarna merah dan hitam itu. Rasa penasaran masih meraja. Dari penuturan Bu Lawang, itu ternyata biji kopi yang baru dipetik. Yah, kopi, kawan eksotis yang terkadang menemaniku di kantin kampus. Baru kutahu rupa aslinya saat ini.

*



Nafas yang masih berusaha masuk pada tracknya, dan peluh yang justru bahagia mengintip melalui pori-pori kulit rasanya tertarik pada keeksotisan kopi yang sedang duduk anggun di atas baki di sampingku. Tak ada salahnya menyeruput kopi setelah berjuang melalui sirkuit Tassese, pikirku. Srruupp! Tak ada rasa bersalah memang, tapi suguhan kopi le'leng (arti: kopi hitam) cukup membuat lidahku shock. Ekspresiku terlalu jujur, sampai-sampai Ibunya Ulla kemudian menerobos dengan kata, "Begitu memang rasanya kopi di sini, ka mahal ki gula, Rp 20.000 per kilo".

Dg. Selo sedang membersihkan cengkeh (yg berambut putih)
Daeng Selo dan warga Tassese bermain domino ditemani Kopi Le'leng.
Toples Kopi dan Toples Gula disediakan bagi mereka yang ingin menambah sendiri.
"Gula merah maksudnya itu, ka biasa itu orang jaman Belanda kayak Daeng Selo na sukai minum kopi sambil makan gula merah," Ibunya Lisa melengkapi. Kali ini dia bertindak sebagai dirigen tawa di rumah panggung Pak Lawang. Kelakar singkat tadi misalnya, berhasil membuat wajah Daeng Selo sedikit memerah.

Kopi le'leng adalah sebutan untuk salah satu jenis kopi yang seringkali disuguhkan di Desa Tassese. Kopi ini diseduh dengan komposisi kopi bubuk yang lumayan banyak dan perpaduan gula pasir yang sedikit. Perbandingan umumnya 2 sendok makan untuk bubuk kopi dan 1 sendok teh untuk gulanya. Bahkan, seringkali tidak menggunakan gula pasir sama sekali. Ini jika para bapak sendiri yang meracik dan menyeduh kopi mereka.

biji pohon kopi Tassese
Kopi yang warga Tassese suguhkan kali ini ternyata dipanen langsung dari kebun sendiri. Bu Lawang menceritakan bahan dan proses membuatnya selama duduk santai petang itu. Di Tassese, kopi memang belum menjadi komoditas utama, tapi keberadaannya di halaman-halaman rumah warga cukup meringankan kebutuhan konsumsi rumah tangga. Jika dahaga, tinggal ambil segenggam persediaan biji kopi yang telah dikeringkan, kemudian tumbuk, dan seduh.

Sementara aku dan beberapa kawan PILAR lainnya fokus mendengar penjelasan Ibu-Ibu Tassese, Daeng Selo tetap saja asyik dengan Kopi Le'leng dan lintingan ico' nya. Jadi lupa shocking yang dirasakan lidah saat seruput pertama tadi. Nilai eksotis secangkir kopi ternyata tidak hanya dari rasanya. Usaha tulus dari sang tuan rumah mmenambah nilai luar biasa secangkir kopi hitam.

bunga pohon kopi Tassese

Jika bukan karena Daeng Selo sebagai tuan rumah sekaligus penikmat kopi le'leng, saat ini pikiranku tidak akan terus berselancar dalam lautan minuman itu. "Karena kalo dikasih gula bukanmi rasa kopi, tapi rasa gula mami," canda Daeng Selo yang membekas dalam pikiran. Maknanya sederhana dan sangat setia.

*

Saat di Tassese, setelah seharian bercengkerama dengan warga sekitar, termasuk bocah-bocahnya, ada beberapa hal yang membekas dan menurutku penting. Bagi warga Tassese, siapapun Anda, apakah telah dikenal sebelumnya atau masih asing sepertiku, mereka akan tetap tersenyum sambil mengajak Anda menapaki Tassese melalui dialog terbuka dan tawa lepas. Aku tidak perlu bersusah payah memasang topeng SKSD (sok kenal sok dekat) agar dapat diterima oleh mereka. Dan rupanya mereka juga tak menginginkan aku terbang melayang karena keramahan palsu bak seorang sales yang menawarkan produknya.

Bocah-bocah tak akan merengek atau mo'jo' mencari perhatian. Dengan lugu mereka akan menarik tangan Anda, memperkenalkan kebahagiaan Tassese dari sudut yang lain. Yang terakhir, ini benar-benar baru bagiku. Tingkah pola anak yang terkadang canggung bila bertemu dengan orang baru tidak berlaku di sini. Warga Tassese, khususnya anak-anak, cukup ramah.

Tak ada yang berlebihan. Mereka apa adanya. Seperti kopi le'leng yang kuseruput. Sederhana dengan rasa murni kopinya. Tidak ada gula bukan berarti kekurangan. Melalui kopi le'leng itu, seperti ada pesan, "Walau tak ada yang sempurna, Tassese indah begini adanya". Sedikit memodifikasi penggambaran Dee tentang kopi tiwus dalam novel Filosofi Kopi.

Daeng Selo dan beberapa warga Tassese mengisi malam dengan main domi ditemani Kopi Le'leng Tassese. Toples Gula dan Toples Kopi disediakan bagi yang kurang terbiasa dengan aroma dan rasa murni Kopi Le'leng.

Kopi Daeng Selo kini telah merajai otakku. Baginya, minuman ternikmat adalah kopi yang hanya menghidangkan aroma dan rasa kopi. Mungkin itu juga harapan Daeng Selo bagi Tassese. Tassese yang apa adanya, yang menyuguhkan kearifan lokal, tanpa tambahan macam-macam di dalamnya. "Karena kalo dikasih gula bukanmi rasa kopi, tapi rasa gula mami," alasan itu masih terngiang. Alasan cerdas tentang kemurnian yang berangkat dari sebuah kopi le'leng Tassese.

Daeng Selo (berambut putih) sedang memisahkan biji cengkeh dari batangya dibantu Ima, salah satu gadis Tassese.
Daeng Selo tergolong warga dengan usia beranjak renta di Tassese. Bahkan ada beberapa warga yang menjulukinya 'orang jaman Belanda'. Usianya sekitar 60 tahun lebih. Dibandingkan aku dan beberapa warga yang juga duduk santai di teras rumah petang itu, Beliau memang yang tertua. Daeng Selo salah satu saksi hidup perkembangan Tassese hingga seperti hari ini.

Alasan cerdasnya mungkin memang sudah direncanakan sejak jauh hari sebelumnya. Sekarang ini rasa Desa Tassese semakin beragam. Ibarat kopi le'leng, kini rasanya sudah didominasi gula. Ada banyak hal baru yang masuk sebagai konsekuensi dari globalisasi; gadget, bahkan film impor yang menyajikan adegan dewasa dalam kepingan DVD bajakan hampir menjadi hal yang biasa bagi anak-anak Tassese. Kita tak bisa lagi memaksa mereka menyeruput kopi le'leng jika saat ini mereka sedang asyik memasukkan susu, coklat, atau penambah rasa instan lainnya.

Bersama anak Tassese di Air Terjun Tassimbung. Cilling yang di pojok kanan atas baju strip hitam-putih
(dari kiri ke kanan - Allink, Gilang, Azis, Tanda, Thamy, Madi, Iqbal, Aya, Taufik, Basri, Imron, Cilling)
Syukur, masih ada yang setia pada kopi le'leng tak bergula seperti Daeng Selo, namanya Cilling. Pemuda ini salah satu harapan Daeng Selo untuk menjaga Tassese. Disaat banyak kalangan muda perlahan menjauhi budaya bertani karena ada perasaan gagal dan tidak puas untuk mengangkan kelas sosial dan ekonomi petani, Cilling justru memilihnya sebagai tantangan hidup. Setelah luus SMP pada tahun 2010, Cilling memilih untuk tidak melanjutkan sekolah ke bangku SMA. Saat kutanya mengapa tidak melanjutkan sekolah, jawabnya, "kuuruski sawah sama sapiku, kak. Nanti kuajakki liat sapi ku nah!" Cilling belum menepati janjinya yang ini. Dia tidak boleh lupa. Hehehe.

Baginya, mengurus sawah dan sapi demi keluarga dan desa jauh lebih penting daripada mengejar tren yang merupakan nafsu kebanyakan anak muda kini. Kebanyakan teman SMP nya yang melanjutkan sekolah keluar Tassese sering pulang dengan kebanggaan-kebanggaan semu. Keren jika sudah bisa pulang dengan motor besar dan knalpot berderu penanda kehebatan. Atau keren ketika berkumpul di pusat signal dan masing-masing memegang HP dengan isi lagu-lagu remix keluaran terbaru. Semakin nakal lirik dan nge-beat lagu yang kita punya, semakin keren.

Sayang jika meluangkan waktu hidup untuk sekolah, tapi tidak belajar. "Mending urus sawah tapi belajar, kak," jelas Cilling sambil menikmati kopi le'leng  Daeng Selo.

Kiranya pantas jika selama ini kak Thamy menyebut Cilling sebagai 'aset Tassese'. Aku yakin Cilling hanya meninggalkan bangku sekolahnya saja, bukan meninggalkan semangat belajarnya. Karena, belajar bisa dilakukan dan didapatkan di mana saja. Saat di sawah, di ladang bersama ternak, bahkan saat menyeruput secangkir kopi le'leng. Cilling salah satu guru dan juga siswa di Sekolah Kebudayaan Lokal yang dirintis kawan-kawan PILAR di Desa Tassese.

Demikianlah Tassese. Terus berproses, masih terus teracik. Untuk saat ini, tepatlah kopi le'leng  tanpa gula kemarin jadi representasenya. Sederhana dalam tenang, tapi bermakna untuk secangkirnya.

Selayaknya dalam dunia 'perkopian', kelak Gilang, Aco, Cilling, Ulla, Iqbal, Ima, Lisa, Lisda, Tanda, dan anak-anak Tassese lainnya akan menjadi barista (makna: peracik) bagi masa depan Tassese. Mungkin saja mereka akan meng-upgrade  kopi le'leng tanpa gula racikan Daeng Selo dengan menambahkan berbagai macam bahan. Tidak masalah. Asal komposisinya pas dan tetap mempertahankan cita rasa Kopi Le'leng Tassese, agar Daeng Selo tak keberatan mencicipi tentunya.

Selanjutnya akan seperti apa rasa 'kopi Tassese'?

Kita tunggu. Yang jelas, racikan 'kopi Tassese' tergantung pada pengetahuan para 'barista'nya.




- rahMADI nurdin -

Kamis, 11 Juli 2013

Garuda Cilik dari Langit Tassese

Saya, Imron, Madi, Aya, Thamy, dan Basri berkunjung lagi ke Tassese. Saat sampai, hiruk-pikuk anak-anak yang tengah mengejar bola plastik di lapangan SATAP menarik perhatianku dan beberapa kawan. Setelah parkir motor, kami langsung gabung dengan mereka yang tengah asyik bermain sepak bola. Langit sore di Bulan Juli tampak cerah membawa kami sepakat untuk membunuh waktu dengan ceria bermain sepak bola di tengah lapangan SD – SMP SATAP (Satu Atap) 3 Desa Tassese, Kecamatan Mannuju, Kabupaten Gowa, yang dibangun dengan partisipasi masyarakat desa atas inisiatif bersama pemerintah Australia dan Indonesia melalui program Block Grant.
 
Tidak perlu waktu lama untuk membagi tim karena anak-anak ini dengan sendirinya berdiri mengambil posisi tanpa adanya perintah. Mereka mengerti posisi apa yang mereka mainkan dan di tim mana mereka harus berada. Alhasil dua tim telah terbentuk dengan kesepakatan cepat yang tak terucap. Setiap tim berjumlah  enam pemain.


Kami memulai pertandingan sepak bola dengan fasilitas sederhana. Hamparan rumput hijau alami dengan tekstur tanah bergelombang yang terletak di lapangan Sekolah SATAP 3 Tassese akan menjadi lapangan sepak bola kami. Luasnya kuperkirakan hanya sepertiga dari