Kamis, 11 Juli 2013

Garuda Cilik dari Langit Tassese

Saya, Imron, Madi, Aya, Thamy, dan Basri berkunjung lagi ke Tassese. Saat sampai, hiruk-pikuk anak-anak yang tengah mengejar bola plastik di lapangan SATAP menarik perhatianku dan beberapa kawan. Setelah parkir motor, kami langsung gabung dengan mereka yang tengah asyik bermain sepak bola. Langit sore di Bulan Juli tampak cerah membawa kami sepakat untuk membunuh waktu dengan ceria bermain sepak bola di tengah lapangan SD – SMP SATAP (Satu Atap) 3 Desa Tassese, Kecamatan Mannuju, Kabupaten Gowa, yang dibangun dengan partisipasi masyarakat desa atas inisiatif bersama pemerintah Australia dan Indonesia melalui program Block Grant.
 
Tidak perlu waktu lama untuk membagi tim karena anak-anak ini dengan sendirinya berdiri mengambil posisi tanpa adanya perintah. Mereka mengerti posisi apa yang mereka mainkan dan di tim mana mereka harus berada. Alhasil dua tim telah terbentuk dengan kesepakatan cepat yang tak terucap. Setiap tim berjumlah  enam pemain.


Kami memulai pertandingan sepak bola dengan fasilitas sederhana. Hamparan rumput hijau alami dengan tekstur tanah bergelombang yang terletak di lapangan Sekolah SATAP 3 Tassese akan menjadi lapangan sepak bola kami. Luasnya kuperkirakan hanya sepertiga dari
standar lapangan sepak bola Internasional. Kemudian ada dua gawang sederhana dengan tiang-tiang dari bambu kira-kira sepanjang 3 meter. Kedua gawang ini tanpa mistar gawang. Bambu itu sekedar ditancapkan di tengah masing-masing sisi lebarnya dengan jarak kira-kira dua setengah meter.

Walaupun tidak ada batasan tinggi gawang dengan mistar, namun kami menyepakati bola dikatakan tidak masuk jika tinggi bola hasil sepakan jauh mengudara dari gapaian lompat keeper cilik yang rata-rata tingginya tidak sampai satu setengah meter. Anak-anak Tassese memanfaatkan alam sekitar untuk membuat syarat-syarat utama terpenuhinya permainan sepak bola. Tempat anak-anak desa yang kreatif dan mandiri dalam bermain sepak bola di bawah langit Tuhan ; Desa Tassese.
 
Sebelum digantikan oleh Imron, aku bermain bersama Aco, Ulla, Muji, Tanda, dan sahabatku Aya. Aya satu-satunya perempuan di pertandingan kali ini. Di tim lain ada Ikbal, Cilling, Gilang, Alling, Taufik, dan seorang lagi yang aku lupa namanya.
 
”Bagimi ..!!” teriak Aco dengan dialek makassarnya yang seolah menggantikan suara peluit wasit sebagai tanda mulainya permainan.

Ikbal memegang kendali pada tendangan pertama yang kemudian di opernya pada kawan satu tim nya. Di Tassese, kami bermain saja hingga sepakat untuk berhenti bila lelah. Standar permainan sepak bola kami berdasarkan semangat dan keseriusan. Walaupun reward pemenang hanya sebatas pengakuan saja, tetapi kami berusaha melakukan yang terbaik bak pemain Timnas Garuda Indonesia yang bermain melawan Timnas Negara lain dengan penuh dedikasi. Tak menutup kemungkinan anak-anak ini nantinya yang menjadi Garuda lapangan hijau kebanggaan Indonesia yang menegakkan panji merah-putih di pentas sepak bola dunia.

 
Tanpa adanya wasit yang memimpin, memutuskan pelanggaran, dan hukuman pada pertandingan,  anak-anak ini tetap dengan ikhlas mengakui jika mereka melakukan pelanggaran. Misalnya saja, ketika tanpa sengaja mereka melakukan hands ball yang sering kali terjadi disepanjang permainan, atau melakukan tackling ke kaki salah satu pemain tim lawan yang mengakibatkan pemain tim lawan tersebut jatuh tersungkur, mereka langsung mengakui dan bertanggung jawab atas pelanggarannya.
 
Seperti yang dilakukan Tanda dari timku terhadap Gilang dari tim lain. Umur mereka masih sekitar 10 tahun, tapi sikap tanggung jawab dan jujurnya sudah bisa jadi tauladan anak-anak lain, bahkan untukku. Tanpa niat mencederai, Tanda melakukan tackling untuk merebut bola lepas yang ternyata membuat Gilang tersungkur. Refleks, Tanda memungut bola, kemudian langsung memberikannya pada tim lawan untuk di eksekusi free kick atas pelanggaran yang ia lakukan.
 
Permainan ini berjalan dengan penuh keceriaan. Tawa kami terpecah saat ada pemain yang terpeleset jatuh atau tanpa sadar melakukan gerakan aneh yang sulit dijelaskan saat berebut bola. Hampir satu jam bermain, kami pun lelah dan memutuskan berhenti dengan skor akhir 8-6 dengan kekalahan timku.
 
Anak-anak ini pun mengajakku mandi di sungai yang terletak di dekat sawah seolah merayakan kemenangan kami semua. Yah.. aku dan timku tidak merasakan kekesalan atas kekalahan melainkan larut dalam canda dan tawa persahabatan.

Anak-anak ini memperlihatkanku hakikat permainan. Sportifitas, kejujuran, dan persahabatan yang tak lagi aku tonton di layar kaca panggung elit sepak bola Indonesia yang kadang menampilkan rusuh dan kejengkelan berlebih ketika kalah, atau sahut-menyahut pendukung dengan kata-kata celaan. Anak-anak ini adalah putra mentari di Desa Tassese, desa kecil dengan semangat yang besar.

-Azis-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar