Senin, 26 Agustus 2013

Bukit Sapa yang Merdu

Burung putih mencuri pandanganku. Ia terbang membelah udara. Membentuk garis berkelok indah tanpa ragu. Sepertinya coba menghindar dari batang kayu berkepala kantong plastik yang hampir ada di setiap petakan sawah. Kemudian, burung itu hinggap di pematang tanpa kantong.

Diantarnya pandanganku pada kantong-kantong itu. Aku bahkan terdorong untuk mengeja jumlahnya. Ada lebih kurang 102 kantong berkibar menghias puluhan sengkedan yang nampak ibarat tikar teduh di lereng salah satu bukit Desa Tassese. Mereka melambai dari jauh.

Bukit itu kunamakan Bukit Sapa. Aku bisa melihatnya dari batu besar di sebuah tanah lapang. Letaknya di belakang rumah Pak Lawang, salah satu warga Dusun Bonto Te'ne. Aku perlu melawan takut melewati beberapa ayam yang bermain di samping rumah Pak Lawang. Kemudian bertemu pada sepetak kebun ubi yang belum tertata. Pagar bambu tua lalu menyambutku. Melangkah sedikit, berbagai pohon mengisi pandangan. Ada pisang, bambu, kopi, cengkeh, cabai, dan semak ilalang. Ada tangga kecil yang membantuku melewati pagar bambu tua kedua. Dan, "Hai!" sapa Bukit Sapa.


Saya tidak pernah tidak tersenyum ketika sampai di sini. Jika malam, warna teduh Bukit Sapa dan hamparan sawah memang tidak terlihat. Tapi, kilau langit dengan hamparan bintang yang ditemani bulan tidak ada duanya. Kita diterangi kilau lampu alam. Dan jika pagi seperti ini, kuas bumi memadu-padankan warnanya. Lambaian hijau daun yang dihembus angin sepoi selalu menyapa aku dan petani-petani yang baru mau atau sudah pulang dari ladangnya. Baru saja ada seorang Petani menyapaku. Sapaan di Tassese tidak pernah klise. Meski serupa, tapi setiap senyum mereka punya pesan indah yang berbeda. Unik dan apa adanya.

Layaknya rumah-rumahan sawah yang berdiri tegak di depanku. Ada 4 buah rumah-rumahan sawah. Tapi rupa dan besarnya dibangun sesuai fungsi dan letaknya masing-masing. Tidak untuk diperbandingkan.

Hari semakin siang. Terik matahari kali ini gagal menggerahkan hatiku. Musik alam terlalu merdu. Sehingga melebur seluruh alasan untuk tidak teduh. Angin sepoi, helai daun yang berbisik, serangga dan burung-burung yang bertukar kicau, juga ketukan kalung bambu dari sapi-sapi dan kuda-kuda di hampir setiap petak sawah merajut nadanya.

Bagi siapapun kamu yang gerah karena tidak mengerti alam yang bernyanyi merdu, Tolong jauhkan mesin perusakmu yang hanya tahu berderu. Jangan ganggu merdu.


Tassese, 24 Agustus 2013
-nur uTAMI-
| tulisan ini juga dimuat di blog pribadi penulis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar