Senin, 28 Mei 2012

PENDIDIKAN DI TASSESE UNTUK SIAPA?

Prolog

APA sebenarnya tujuan dari proses pendidikan? Apakah peserta didik benar-benar membutuhkan apa yang telah diajarkan? Pelajaran seperti apa yang peserta didik butuhkan untuk menjalani hidupannya? Apa pula yang sistem pendidikan harapkan selepas peserta didik keluar dari proses pendidikan?

Tenaga pendidik merupakan modal utama dalam proses belajar. Tenaga pendidik di negeri kita ini disebut dengan guru. Guru untuk sebagian siswa menjadi sesuatu yang menyenangkan, namun tidak jarang pula ada yang menjadikannya sebagai sesuatu momok yang mengerikan. Pemegang otoritas dalam proses belajar. Aktor yang siswa anggap paling memiliki kuasa atas proses berpengetahuan di sekolah. Aktor yang berhak untuk menentukan salah dan benar. Menentukan rel pengetahuan seperti apa yang harus siswa lalui, karena dialah sumber utama pengetahuan.

Bagaimana seandainya semua otoritas itu hilang dan menggantikannya dengan otoritas bersama. Semua individu yang terlibat dalam proses belajar berhak menentukan apa yang akan mereka pelajari. Guru menyerahkan sepenuhnya kepada peserta didik untuk memilih apa yang mereka sukai dan menjadi rekan belajar bagi siswa-siswanya. Jika perlu, guru juga memposisikan dirinya sebagai individu yang sedang belajar bersama siswa.
***

Pendidikan Formal, Informal atau Alternatif ?

MENGUTIP AHMAD MAHMUDI[1], membahas pendidikan seyogyanya mampu meliputi tiga arasnya yakni fisik, sosial dan ide. Ketiga aras ini kemudian
bisa menjadi bahan analisis penyelenggaraan pendidikan yang telah dan sedang berjalan saat ini. Berikut penjabaran tiga aras yang dimaksudkan: 

1.      Aras Fisik
 
Aras ini meliputi ruang pendidikan, media belajar dan tubuh. Ruang kelas acap kali menjadi membatasi proses belajar. Secara fisik, ruang semakin menjauhkan objek pengetahuan dari peserta didik. Biasanya kita akan mengalami kesulitan untuk melakukan penggambaran fakta dan memberikan contoh ketika masih membatasi proses belajar pada ruang-ruang kelas. Misalnya siswa sedang belajar tentang prilaku sapi. Tentunya di dalam kelas sangat tidak memungkinkan untuk menghadirkan sapi agar siswa bisa melakukan pengamatan.

Sebagian kalangan yang lebih keras malah melihat kelas sebagai sebuah penjara berfikir untuk anak-anak. Memenjarakan siswa dari fakta sebenarnya, sehingga ilmu menjadi sebuah mitos yang tidak bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari mereka.

Hal yang meliputi tubuh tidak kalah pentingnya dalam proses belajar karena mengacu pada nilai-nilai kesetaraan. Siswa di banyak sekolah menjadi objek dari proses mendidik dan guru menjadi subjeknya. Ini kemudian berimplikasi pada tata ruang da komunikasinya. Sebagai contoh, kita bisa melihat tata letak kursi yang saling berhadap-hadapan. Guru di depan dengan meja bertaplak sementara siswa semuan menghadap ke arah guru. Kita bisa juga melihat arah papan tulis yang menghadap ke siswa dan guru membelakangi papan, seharusnya keduanya bisa menghadap bersamaan. Tidak jarang, sekolah membuat lantai yang lebih tinggi di bagian depan yang menegaskan posisi guru lebih tinggi dibandingkan siswa. Padahal, bentuk komunikasi guru yang tidak egaliter—posisi guru berdiri dan anak harus mendongak ke arah wajah guru—sudah mempengaruhi secara psikis. Idealnya guru bisa berjongkok agar posisi tubuh sama tinggi dan menegaskan kesamaan posisi antara guru dan siswa.

2.      Aras sosial

Aras berikutnya berhubungan dengan lingkungan dan suasana belajar. Masih berkaitan dengan penjelasan sebelumnya, aras fisik akan menentukan suasana belajar di sekolah. Sekolah mestinya mampu menciptakan suasana belajar yang menyenangkan untuk memaksimalkan proses pendidikan, bukannya mempakemkan formalitas perangkat pendidikan seperti silabi, ruang belajar, buku-buku teks, seragam dan sebagainya.
Memunculkan ketertarikan siswa untuk mengikuti adalah hal yang utama untuk diperhatikan. Jika dengan bernyanyi bisa memunculkan semangat belajar siswa, kenapa tidak melakukannya. Demikian seterusnya, misalkan dengan bermain, jalan-jalan, nonton video, games, teka teki, dinamika kelompok, simulasi, membuat kompos, menanam bunga dan semacamnya.

Kemudian lingkungan di sekitar harus turut mendukung proses belajar. Pendidikan bukan hanya menjadi tanggung jawab sekolah tetapi semua orang, khususnya keluarga. Dalam keseluruhan aktifitas anak dalam sehari semalam, sekolah hanya mengambil peran dalam proses pendidikan sekira 25% saja. Selebihnya, keluarga dan lingkungan masyarakatlah yang akan mendidik anak-anaknya.

Daya dukung masyarakat terhadap proses mendidik anak akan menentukan tercapai tidaknya tujuan pendidikan yang dicita-citakan. Jadi dengan melibatkan seluruh elemen yang ada di masyarakat menjadi perlu dilakukan. Tidak lagi harus guru seorang yang melakukan proses pendidikan. Misalnya dengan menjadikan kelompok tani untuk mengajar anak membuat kompos, tentang pertanian organik, pengelolaan lahan ramah lingkungan dan sebagainya. Atau bisa juga mengundang ahli bangunan di desa untuk mengajarkan anak tentang konstruksi bangunan serta nilai-nilai yang ada dalam tiap bagian bangunan. Mengajak kepala desa untuk menjelaskan struktur pemerintahan secara umum serta nilai-nilai kenegaraan, atau memanfaatkan peran imam desa dalam menanamkan nilai-nilai agama ke siswa. 

Dengan melibatkan banyak pihak di masyarakat dalam proses pendidikan maka tujuan ideal bukan hanya bisa dicapai tetapi juga dapat dirumuskan secara bersama-sama. Jadi setiap orang di lingkungan sekitar sekolah bisa berkontribusi di dalamnya. Turut bertanggung jawab atas masa depan generasi mendatang yang akan meneruskan peran-peran orang desa.

3.      Aras ide

Aras yang terakhir ini berkaitan dengan kemerdekaan berfikir bagi seluruh orang di dalam proses pendidikan, tanpa terkecuali. Bebas menggunakan seluruh potensi berfikirnya serta mampu berkontribusi dalam pengembangan pendidikan. 

Jadi idealnya, ideologi pendidikan bukan hanya dirumuskan oleh sekelompok orang saja kemudian menjeneralkannya ke seluruh sekolah yang ada. Hal itu bisa dinilai sebagai bentuk penindasan kemerdekaan ide individu. Memang perlu ada pembatasan mengenai kemerdekaan ide, namun sepanjang kemerdekaan itu bisa diterima oleh kemerdekaan individu yang lain maka perlu menjadikannya sebagai bagian dari ideologisasi pendidikan.

Orde Baru sebenarnya yang telah memulai penyakit dalam pendidikan ini. Pahaman untuk mengedepankan stabilitas untuk mengamankan kekuasaan berimplikasi hingga ke sistem pendidikan. Pada bagian ini dibuatlah sebuah kurikulum paten sebagai salah satu perangkat sistem agar kemerdekaan anak-anak dalam berfikir mampu dibendung secara formal.

Implikasi lebih jauh, guru secara tidak sadar kemudian mengikuti praktek penjajahan ide ke peserta didiknya. Otoritas tunggal berlaku proses berpengetahuan berjalan hingga puluhan tahun. Tidak ada ruang bagi siswa untuk mengekspresikan idenya di sekolah karena aturan yang berlaku telah membatasi keseluruhan proses pendidikan. Misalnya minat siswa untuk mempelajari bioteknologi sederhana—siswa ingin mempelajari tentang budidaya cacing, serangga dan musuh alami sebagai alternatif pestisida kimia di kebun orang tuan mereka—tidak akan bisa dilakukan sekolah karena sudah ada kurikulum dan perencanaan pengajaran yang secara formalitas ditentukan sendiri oleh guru. 

Penetapan mengenai apa yang akan dipelajari siswa tidak melibatkan sama sekali ide dari siswa. Siswa masih dianggap sebagai objek pendidikan yang pasif dan tidak mampu menentukan hal yang baik untuk mereka. Guru pun bertindak seperti itu karena ada otoritas yang lebih tinggi dari dirinya sehingga harus mengikuti garis-garis yang ditentukan oleh kekuasaan negara melalui perangkat struktural pendidikan formal. Jika keluar dari acuan tersebut, bisa jadi ancaman pemecatan harus mereka terima. Bahkan untuk sekolah sekalipun mungkin saja akan terancam gulung tikar karena negara akan menutup rapat-rapat penganggaran di sekolah tersebut.

Mencari Alternatif Untuk Pendidikan

MEMBICARAKAN PENDIDIKAN bukan berarti harus mempertentangkan antara pendidikan formal, informal maupun alternatif. Tetapi bagaimana memaksimalkan ketiga model yang ada untuk bisa memaksimalkan potensi kemanusiaan anak. Sangatlah tidak beralasan untuk mempertentangkan ketiga model mengingat masing-masing memiliki keunggulan dan kelemahan. 

Sekali lagi perlu untuk menegaskan bahwa model yang ada saat ini hanyalah alat, bukan sebagai tujuan pendidikan. Bahkan pedagogi yang coba dirumuskan oleh Paulo Freire—yang banyak digunakan oleh kelompok pemerhati pendidikan sebagai acuan membuat model pendidikan alternatif—sekalipun belumlah sempurna. Masih perlu ada penyesuaian-penyesuaian dengan konteks masyarakat di masing-masing wilayah. Tetapi untuk menggeledah sistem pendidikan yang sedang berjalan, apa yang menjadi ide dasar pendidikan manusia Freire ini penting dijadikan bahan refleksi kita bersama.

Salah satu konsep yang bisa menjadi contoh adalah Volk School di Jerman. Sebuah konsep  sekolah yang mengajarkan anak-anak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Sekolah ini  tidak menghilangkan sekolah formal yang sudah ada  sebagai sebuah pendidikan standar internasional. Pemerintah hanya menerapkan jam tambahan untuk anak-anak usia pendidikan dasar (pre elementry-elementry-midle) dan menyarankan mereka untuk bisa mengakses Volk School. 

Pemerintah menyediakan sekian hektar lahan untuk pusat aktifitas sekolah setelah siswa menyelesaikan pendidikan formalnya. Di lahan ini anak-anak bisa menghabiskan waktunya untuk mengolah makanan, bercocok tanam, membuat mainan, melakukan penelitian, memfermentasi buah-buahan menjadi minuman dan sebagainya untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Volk School lebih menekankan pada pembentukan karakter siswa dan mengajarkan mereka untuk bertanggung jawab pada hidupnya (pemenuhan kebutuhan dasar hidup siswa secara mandiri). Tidak ada rumus, hapalan, buku teks, ruang kelas, papan tulis. Semuanya belajar tentang pemenuhan kebutuhan hidup dan mempelajari nilai-nilai dasar kemanusiaan (tanggung jawab, saling menghargai, hormat-menghormati, tidak saling menyakiti, kemandirian dan lain-lain). Saling berhubungan antar sesama manusia,  bahkan dengan ekosistem tempat manusia menjalani hidup. 

Sekolah formal pun menjadi penting di bagian-bagian tertentu. Selain untuk memenuhi kebutuhan pengetahuan standar masyarakat global seperti kemampuan bahasa, sejarah, berhitung, pengetahuan alam dan sosial serta kesenian, sekolah formal juga harus mampu menjadi tulang punggung penanaman nilai-nilai ideologi kebangsaan. Menanamkan rasa bangga atas bangsa, semangat persatuan serta nilai-nilai bangsa lainnya.

Negara Jepang bisa kita jadikan sebagai contoh menarik bagaimana ideologisasi negara kemudian mampu menciptakan generasi tangguh untuk menangkal kepentingan luar yang akan menciptakan ketergantungan.
Pada dekade 1990-an, ketika banyak negara besar kelebihan dalam produksi, salah satunya AS, kesulitan mencari pasar, khususnya untuk produk pertanian. Sementara petani mendesakkan pada negara untuk mencarikan pasar bagi produk pertanian yang telah dihasilkan karena pasar dalam negeri tidak lagi mampu menyerapnya. Akhirnya AS melakukan intervensi pasar ke negara lain, salah satunya ke Jepang. Kemudian pemerintah Jepang menolaknya dengan mengemukakan alasan bahwa masyarakat Jepang belum membutuhkan produk pertanian yang ditawarkan AS karena mereka masih mampu memenuhinya sendiri. 

Apa yang menjadi kebijakan pasar pemerintah Jepang ini tidaklah terjadi dengan sendirinya, tetapi telah melalui ideologisasi yang panjang. Menumbuhkan kesadaran pada masyarakatnya untuk memenuhi kebutuhan dasarnya secara mandiri tanpa menggantungkannya pada negara lain. mewujudkan kedaulatan bangsa Jepang yang dimulai dengan berdaulat secara pangan. Bagaimana sebenarnya ideologisasi ini berlangsung? Salah satunya kita bisa menyimak dari cerita pengalaman belajar Mahmudi di sana.

Saat Mahmudi berkunjung ke Jepang dan melihat proses belajar, dia melihat bagaimana proses ideologisasi negara di sana dilakukan. sebelum mulai proses belajar, siswa mengucapkan salam dan serentak berucap:

 “KAMI ANAK JEPANG, BANGGA MENJADI BANGSA JEPANG. KAMI MAKAN BERAS JEPANG. BERAS JEPANG ADALAH BERAS PALING ENAK DI DUNIA. PATUNG DEWI SRI TERBESAR ADA DI JEPANG MENGHADAP KE SELATAN. KALAU MENCARI KEMAKMURAN JANGAN KE UTARA, KARENA KEMAKMURAN ADA DI SELATAN.”

Kalimat di atas bukan hanya diucapkan saja, tetapi siswa menyerap apa yang mereka teriakkan setiap hari sebelum belajar. Menegaskan bahwa sumber kemakmuran bisa diciptakan dari tanah dan air sendiri. Seluruh kebutuhan dasar—melingkupi kebutuhan sandang, pangan dan papan—masyarakat bisa dipenuhi di dalam negeri dan tidak menyerahkan kepada negara luar untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Negara bisa memulainya melalui pendidikan formal. Menanamkan nasionalisme serta nilai-nilai ideologi kenegaraan sejak dini di siswa melalui sekolah formal agar mampu mendukung perumusan kebijakan yang lebih berdaulat di masa mendatang.

Contoh lain bisa kita lihat di Kuba pada masa revolusi hijau. Ketika negara ini diisolasi dari dunia luar karena menolak revolusi hijau, pemerintahan kemudian melakukan pembenahan di masyarakatnya melalui pendidikan. Caranya dengan melibatkan siswa tingkat menengah dalam riset bioteknologi untuk mendukung proses pertanian masyarakat di desa. Pemerintah membangun laboratotium biotek di setiap desa dan memberikan tanggung jawab kepada siswa untuk melakukan riset pertaniannya bersama petani lainnya.[2]
 
Masih banyak contoh lain yang bisa kita terapkan dalam mencari format terbaik untuk pendidikan dalam konteks masyarakat Sulawesi Selatan umumnya. Cara lain yang mungkin bisa digunakan adalah dengan mensinergikannya dengan proses penanaman nilai-nilai agama maupun dalam praktek keagamaan lain, praktek kebudayaan lokal dan sebagainya.
***

Tassese Dengan Permasalahan Pendidikan

TASSESE, sebuah desa di wilayah pegunungan terjal berbatu sempat terisolir dari ‘dunia luar’. Salah satu desa yang masuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Manuju, Kabupaten Gowa. Hingga akhirnya pemerintah menyelimuti jalan poros desa dengan aspal hitam. Mula-mula transportasi mulai masuk membawa paket modernisasi berikut seluruh implikasinya. Keterisolasian Tassese kemudian menjadi jualan bagi Dinas Pendidikan untuk menyambut utang luar negeri dari Ausaid untuk mendirikan bangunan sekolah SMPN 3 SATAP Tassese.[3]
 
Sebagaimana umumnya sekolah SATAP di tempat lain—yang juga mendapat bantuan utang dari Ausaid—donor membangun tiga ruang kelas di atas tanah wakaf kurang lebih luasnya satu hektar. Tentunya masyarakat menyambut dengan gembira sesuatu yang nampaknya memberikan harapan tentang cita-cita pendidikan ideal. 

Namun kegembiraan tersebut tidaklah berlalu lama. Baru satu angkatan sekolah meluluskan siswa, masalah pun mulai bermunculan. Sekolah kekurangan guru pengajar. Tidak banyak honoris yang mau mengabdikan dirinya ke pelosok kecamatan dengan medan jalan sangat curam. Butuh kurang lebih satu jam dari ibu kota Kabupaten untuk bisa sampai di Tassese. Itu pun jika menggunakan kendaraan roda dua. Jika menggunakan transportasi pete’-pete’ tentu akan memakan waktu lebih lama.

Bukan hanya guru, nyatanya utang yang Ausaid berikan tidak memuat bahan ajar, alat peraga dan peningkatan kapasitas guru sebagai pendukung proses pendidikan. Padahal tiga poin tersebut tidak kalah pentingnya dari kemewahan gedung kelas yang semakin menjauhkan siswa dari realitas.

Kebijakan daerah untuk membebaskan seluruh bisaya pendidikan kemudian memperparah kondisi sekolah. Jika sebelumnya orang tua siswa turut berkontribusi dalam pendidikan di sekolah—salah satunya dengan membiayai oprasional sekolah—kini kontribusi itu lenyap sama sekali. Rasa kepemilikan atas sekolah musnah karena tidak ada ‘investasi’ personal yang mengikatnya. Akhirnya pendidikan hanya menjadi tanggung jawab sekolah, bukan menjadi tanggung jawab semua orang.

Rudin, kepala sekolah SMPN 3 SATAP Tassese, menceritakan kondisi kondisi guru-guru hubungannya dengan orang tua siswa di masa lalu. Ketika siswa akan menjalani kelulusan, orang tua siswa biasanya akan mempersiapkan sesuatu untuk guru-guru yang selama di sekolah mendidik anaknya. Ada yang mempersiapkan ayam, songkolo, beras terbaik dan bahan makanan lainnya untuk mereka serahkan kepada guru. Jadi saat sekolah secara formal melepaskan tanggung jawabnya dari siswa, orang tua memberikan apa yang mereka miliki sebagai bentuk trima kasihnya. Ketika pemerintah kabupaten menekankan sekolah geratis ke masyarakat, kemudian tradisi ini hilang bersama rasa tanggung jawab orang tua pada pendidikan anak. Semuanya sudah geratis, lantas jika anak gagal di sekolahnya toh tidak ada yang dirugikan.

Memang cerita singkat ini hanya menggambarkan secara mendalam keacuhan masyarakat terhadap pendidikan anak di Tassese saat ini. Tapi bukan berarti membenarkan kondisi pendidikan di sana baik-baik saja. Sebenarnya ada banyak cerita yang bisa dipaparkan dalam tulisan ini, tetapi itu hanya menambah daftar panjang bobroknya pendidikan di Indonesia pada umumnya.

Tantangan Mbah Roem

PENULIS tentu tidak akan berbicara banyak soal Ausaid, utang dan sekolah ketika tidak pernah terlibat secara langsung di dalamnya. Justeru semua cerita ini berawal dari keterlibatan penulis dalam riset yang dilakukan program dalam proses evaluasi.

Riset kualitatif untuk melihat implikasi dari program utang pembangunan gedung sekolah dilakukan setelah sekolah itu beroperasi. Saat itu Roem Topatimasang[4]—peneliti inti—mengajak beberapa anak muda untuk terlibat dalam riset ini. Anak muda ‘galau’ yang sedang belajar meneliti dan mengenal desa dengan cara pandang berbeda.

Tim riset kemudian membagi diri untuk menemui beberapa informan yang terdiri dari siswa, guru, orang tua siswa dan kepala sekolah. Melihat seperti apa sistem sekolah yang baru bekerja, mengukur efektifitas bantuan, bentuk keterlibatan masyarakat, serta implikasinya terhadap siswa. 

Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, kemewahan gedung ternyata tidak menjawab kebutuhan anak-anak di Tassese akan pendidikan. Setiap harinya siswa kerap terlantar tanpa pengajar. Bahkan terancam tidak bisa lulus dalam ujian nasional yang waktunya sudah semakin dekat.

Malam tiba, tim riset melakukan diskusi kecil sebagai bentuk refleksi dalam melihat fakta lapangan. Di akhir diskusi, Roem menantang anak-anak muda yang membantu risetnya untuk menyelesaikan masalah di sekolah ini. Mereka tidak menerima, tetapi tidak pula menolak tantangan tersebut. Diskusi pun menjadi senyap sesaat tanpa ada keputusan yang jelas.

Cikal Bakal Lahirnya PILAR (Pintu Belajar)

SEMINGGU setelah pulang dari Tassese, rupanya Randie—salah satu anak muda yang terlibat dalam riset kualitatif di Tassese—terganggu dengan tantangan dari Roem. Kemudian mulai menggagas rencana bersama teman-teman yang lain. 

Setelah berdiskusi lama, akhirnya mereka memutuskan untuk membuat langkah taktis untuk sementara ini. Menyelesaikan masalah sekolah yang tidak memiliki guru Bahasa Inggris dengan mencari tenaga sukarela.
Persiapan pun mereka lakukan, mulai dari mengkomunikasikan rencana ini dengan pihak sekolah, menyebarluaskan informasi untuk menjaring tenaga pengajar, membuat jadwal pengajaran hingga mempersiapkan tempat tinggal untuk guru sukarela nantinya. Demikian semangatnya hingga terlupakan untuk mengusahakan logistik dan kebutuhan lain di Tassese yang akhirnya ditaktisi dengan mengharap father and mother fundation.[5]
 
Tenaga sukarela sebagian besar terkumpul dari jejaring sosial karena informasi mereka sebarkan melalui media tersebut. Setelah terkumpul, perjalanan sembilan bulan pun mereka lalui bersama. Mengajar sekaligus belajar bersama anak-anak di Tassese.

Ikatan emosional yang terbangun kemudian memunculkan gagasan untuk membuat sesuatu yang lebih mengikat. Kemudian mereka membentuk kelompok bernama PILAR, sebuah Pintu Belajar. Kelompok voluteer yang prihatin dengan kondisi pendidikan yang semakin memburuk dengan segala faktor yang hadir silih berganti.

PILAR juga mulai membenahi kelompoknya dengan melakukan perencanaan yang lebih terukur serta menyebarluaskan gerakannya untuk menjaring pihak-pihak lain terlibat dan bisa melakukan hal yang sama di tempat lain. Salah satunya dengan melibatkan kelompok pedagang di Pasar Terong, SADAR (Persaudaraan Pedagang Pasar Terong) untuk menyediakan kebutuhan logistiknya.

Dalam perjalanannya PILAR sadar akan kebutuhan orang-orang di dalamnya untuk meningkatkan kapasitasnya di desa. Bagaimana PILAR bisa melihat lebih kritis apa yang ada di dalam desa dan menganalisisnya lebih dalam. 

Komunitas Ininnawa segera menyambut baik kebutuhan PILAR ini dengan merancang sebuah pelatihan riset desa di Tassese. Buakan hanya PILAR saja yang menjadi sasaran pelatihan tetapi juga dengan siswa SMPN 3 SATAP Tassese. Mereka ikut dilibatkan sebagai peserta. kemudian rencana pelatihan ini terus berkembang dengan melibatkan lebih banyak masyarakat Tassese. 

Rencana ini akhirnya Roem dengar dan menawarkan dirinya untuk menjadi salah satu fasilitator di dalam pelatihan bersama fasilitator lain seperti Hasriady Ari, Ishak Salim, Armin Hari, Siswandi dan teman-teman lainnya. 

Kehilangan Semangat

SEPERTI EJAKULASI DINI, PILAR kemudian lenyap bersama rutinitas kerja orang-orang di dalamnya. Namun bukan berati tidak ada upaya dari mereka untuk menhidupkan kembali bara semangatnya. Misalnya apa yang Ahmad Silaban—salah satu anggota PILAR, hasil dari pelatihan riset desa—lakukan dengan menindaklanjuti temuannya dalam riset tentang tanaman palawija. 

Sembari melakukan ujicoba tanaman palawija—pengalaman masa lalu ketika masih menetap di kampung halamannya di Sumatera—Ahmad juga tetap mengajar di SMPN 3 SATAP Tassese. Ahmad juga terus menjalin komunikasi dengan anggota PILAR lainnya sekaligus mengundang mereka agar kembali mengajar. Walaupun akhirnya ujicoba gagal—tanaman palawija dirusak oleh semut tanah, sebelumnya warga memperingatkan ancaman hama babi dan kera—setidaknya apa yang dilakukan Ahmad mampu menutupi kekosongan aktifitas PILAR di masa vakumnya.

Peluang menghidupkan kembali semangat PILAR adalah siklus tahunan sekolah menghadapi ‘ancaman’ ujian nasional. PILAR pada momen ini bisa kembali besemangat, namun setelahnya kembali redup.
Dari diskusi satu ke diskusi yang lain ternyata menciptakan media refleksi bagi orang-orang di PILAR. Mengevaluasi kembali apa yang sudah PILAR lakukan selam ini di Tassese dengan masyarakat di dalamnya. Mulai menyadari bahwa mengajar di sekolah formal tujuan awalnya sebuah langkah taktis, bukan menjadi tujuan utama kerja PILAR.

Hal lain yang PILAR lakukan adalah melihat lebih jauh implikasi dari apa yang mereka lakukan selama di Tassese. Berusaha untuk meminimalkan efek negatif yang mungkin dimunculkan seperti ketergantungan sekolah terhadap volunteer. Hadir juga anggapan bahwa PILAR sedang membenarkan ‘keacuhan’ tenaga pengajar dengan mengambil peran mereka. Semua pertanyaan inilah yang berusaha untuk PILAR jawab dari proses refleksinya.

Menyusun Kembali Rencana Pengorganisasian di Tassese

JUM’AT, 18 Mei pertemuan ‘dadakan’ dibuat. Tujuannya untuk merumuskan beberapa rencana tindak lanjut pengorganisasian yang lebih panjang di Tassese. Hadirlah beberapa anggota baru PILAR—yang tiga bulan sebelumnya beraktifitas lagi di Tassese—turut berkontribusi dalam penyusunan rencana. Sebelum menyusunnya, peserta pertemuan melakukan refleksi untuk kesekian kalinya melihat lebih dalam apa yang mereka sudah kerjakan. 

Pertemuan memutuskan tidak lagi memorsikan energinya pada proses mengajar dan mempersiapkan siswa menghadapi ujian nasional saja. Tetapi lebih jauh lagi akan menjadikan pendidikan dan sekolah sebagai pintu masuk pengorganisasian berbasis desa.

Kebutuhan yang paling mendesak saat ini adalah rumah untuk PILAR tempati selama beraktifitas di Tassese. Tujuannya supaya aktifitas PILAR tidak lagi membebani warga karena selama ini tenaga pengajar sukarela menggunakan rumah Rudin dan Lawang (guru tetap SMPN 3 SATAP Tassese) sebagai tempat tinggalnya selama di Tassese. Maka ditunjuklah sebuah rumah kosong—sebelumnya menjadi perumahan guru, saat ini kondisinya rusak dan tidak layak huni—untuk direnovasi agar bisa difungsikan kembali untuk kegiatan volunteer selama berada di Tassese.

Tempat itu juga rencananya menjadi pusat aktifitas pengorganisasian dalam jangka panjang. Menjadi sekolah kedua setelah siswa menyelesaikan jam sekolah formalnya. Selain anak-anak, orang dewasa pun bisa mengakses tempat ini sebagai media belajar PILAR bersama masyarakat sekitar. Jadi sasarannya akan mejadi luas, melingkupi masyarakat Tassese secara umum.

Lebih jauh, pertemuan membayangkan tempat ini bisa membuat sebagian sudut ruangnya sebagai perpustakaan umum. Kemudian sebagian lahan yang tersisa akan dijadikan sebagai lahan percontohan untuk pertanian sayur organik. Dari proses belajar pertanian ini diharapkan profesi bertani tidak lagi dipandang sebelah mata. Coba menghapus stigma bahwa petani identik dengan kemiskinan, pekerjaan kasar, tidak berpendidikan dan stigma negatif lainnya. Gagasan terus berkembang hingga ke rencana membuat sanggar seni untuk anak-anak. Tujuannya untuk menggali nilai-nilai lokal masyarakat Tassese kemudian anak bisa meresapinya hingga di masa mendatang. 

Untuk memaksimalkan proses tersebut, maka dibutukan keterlibatan lebih banyak orang baik berupa gagasan, tenaga maupun sumber-sumber finansial karena persoalan pendidikan di Tassese bukan menjadi tanggung jawab sekolah dan PILAR saja, tapi semua orang yang pernah mendengar maupun membaca cerita ini.
***
Epilog 

PILAR sadar bahwasanya apa yang mereka lakukan bukanlah satu-satunya solusi untuk menjawab kebutuhan Tassese. Kedepannya, pasti ada gagasan yang lebih progressif dengan baik yang muncul dari kelompok masyarakat, PILAR maupun kelompok lainnya yang juga turut memperhatikan penyelenggaraan pendidikan. Namun saat ini, gagasan di ataslah yang mampu PILAR lakukan dengan memperhitungkan beberapa potensi yang mereka miliki.

Dengan seluruh potensi yang dimiliki PILAR saat ini pun gagasan ini tidak akan berjalan dengan maksimal. Maka perlu untuk melakukan desiminasi informasi mengenai rencana di Tassese ke masyarakat luas. Tujuannya adalah agar kemudian mampu menjaring lebih banyak kelompok yang ada untuk bersama mewujudkan cita-cita pendidikan dalam konteks Tassese. 

PILAR pun tidak akan membuat batasan-batasan keterlibatan dalam rencana ini, apakah akan mengambil peran sebagai volunteer, pengorganisir, penggagas ide, pendanaan, doa maupun dukungan lainnya. Semua peran akan sangat penting dalam proses yang akan dilakukan di Tassese kedepannya.

Setidaknya Tassese bisa menjadi contoh bagi kelompok lain untuk mulai melakukan hal serupa di tempat yang berbeda. Merebut ruang-ruang pendidikan yang belum mampu negara jangkau sembari memperbaiki sistem pendidikan yang ada dengan memulainya dari bawah. Memulai dengan kerja-kerja kecil untuk bisa lebih mendorongnya pada usaha gerakan sosial yang lebih luas.[]


Daftar Kebutuhan Sekret Pilar

Nama Barang
Jumlah Barang
Harga Satuan
Total Harga
Seng
Selang
Semen putih
Lem fox
Kabel
Terminal Listrik
Bola Lampu
Saklar
Karpet
Wipoll
Sikat 
Paku Seng
Panci
Wajan
Sendok
Piring
Gelas
Mangkok
Rak Buku

5 Lembar
1 Roll
1 Sak
5 Bungkus
20 Meter
3 Buah
4 Buah
4 Buah
2 Meter
1 Buah
1 Buah
1 Dos
1 Buah
1 Buah
1 Lusin
1 Lusin
1 Lusin
1 Lusin
2 Buah
@ Rp   35.000,-
@ Rp 300.000,-
@ Rp   75.000,-
@ Rp   10.000,-
@ Rp     3.000,-
@ Rp   11.000,-
@ Rp   25.000,-
@ Rp     5.000,-
@ Rp 100.000,-
@ Rp   19.000,-
@ Rp   10.000,-
@ Rp   20.000,-
@ Rp   30.000,-
@ Rp   30.000,-
@ Rp   25.000,-
@ Rp   70.000,-
@ Rp   50.000,-
@ Rp   70.000,-
@ Rp 100.000,-

Rp  175.000,-
Rp  300.000,-
Rp    75.000,-
Rp    50.000,-
Rp    60.000,-
Rp    33.000,-
Rp  100.000,-
Rp    20.000,-
Rp  200.000,-
Rp    19.000,-
Rp    10.000,-
Rp    20.000,-
Rp    30.000,-
Rp    30.000,-
Rp    25.000,-
Rp    70.000,-
Rp    50.000,-
Rp    70.000,-
Rp  200.000,-

TOTAL
RP  1.537.000,-



[1] Merupakan salah seorang pemerhati pendidikan nasional. Dia banyak mengisi pelatihan-pelatihan seputar pendidikan seperti ...
[2] Lihat buku “Kuba Melawan Revolusi Hijau”
[3] Salah satu sekolah yang dibangun pada tahun 2007 melalui bantuan utang dari AUSAID. Program blog grand bangunan sekolah dengan nama AIBEP (Austalia Indonesia ... Education Program) telah membangun sekira dua ribu sekolah di Indonesia—minus Papua—sejak 2006 lalu.
[4] Salah satu tokoh tranformasi sosial di Indonesia. saat ini banyak melakukan aktifitas bersama jaringan Insist Yogyakarta di banyak desa di Indonesia. Keseriusannya dalam menyoroti persoalan pendidikan dituangkan pula dengan menulis salah satu buku berjudul Sekolah Itu Candu pada tahun 200...
[5] Istilah yang digunakan untuk merujuk sumber dana para pekerja sukarela di Tassese yang masih disubsidi oleh orang tuanya. Sebagian besar tenaga sukarela juga masih menyandang status sebagai mahasiswa, jadi belum memiliki sumber finansial sendiri.






Agung Prabowo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar