Prolog
APA sebenarnya tujuan dari proses pendidikan? Apakah
peserta didik benar-benar membutuhkan apa yang telah diajarkan? Pelajaran
seperti apa yang peserta didik butuhkan untuk menjalani hidupannya? Apa pula
yang sistem pendidikan harapkan selepas peserta didik keluar dari proses
pendidikan?
Tenaga pendidik merupakan modal utama dalam proses
belajar. Tenaga pendidik di negeri kita ini disebut dengan guru. Guru untuk
sebagian siswa menjadi sesuatu yang menyenangkan, namun tidak jarang pula ada
yang menjadikannya sebagai sesuatu momok yang mengerikan. Pemegang otoritas
dalam proses belajar. Aktor yang siswa anggap paling memiliki kuasa atas proses
berpengetahuan di sekolah. Aktor yang berhak untuk menentukan salah dan benar.
Menentukan rel pengetahuan seperti apa yang harus siswa lalui, karena dialah
sumber utama pengetahuan.
Bagaimana seandainya semua otoritas itu hilang dan
menggantikannya dengan otoritas bersama. Semua individu yang terlibat dalam
proses belajar berhak menentukan apa yang akan mereka pelajari. Guru
menyerahkan sepenuhnya kepada peserta didik untuk memilih apa yang mereka sukai
dan menjadi rekan belajar bagi siswa-siswanya. Jika perlu, guru juga
memposisikan dirinya sebagai individu yang sedang belajar bersama siswa.
***
Pendidikan
Formal, Informal atau Alternatif ?
MENGUTIP AHMAD MAHMUDI[1], membahas
pendidikan seyogyanya mampu meliputi tiga arasnya yakni fisik, sosial dan ide.
Ketiga aras ini kemudian
bisa menjadi bahan analisis penyelenggaraan pendidikan yang telah dan sedang berjalan saat ini. Berikut penjabaran tiga aras yang dimaksudkan:
bisa menjadi bahan analisis penyelenggaraan pendidikan yang telah dan sedang berjalan saat ini. Berikut penjabaran tiga aras yang dimaksudkan:
1.
Aras
Fisik
Aras ini meliputi ruang pendidikan, media belajar
dan tubuh. Ruang kelas acap kali menjadi membatasi proses belajar. Secara
fisik, ruang semakin menjauhkan objek pengetahuan dari peserta didik. Biasanya
kita akan mengalami kesulitan untuk melakukan penggambaran fakta dan memberikan
contoh ketika masih membatasi proses belajar pada ruang-ruang kelas. Misalnya
siswa sedang belajar tentang prilaku sapi. Tentunya di dalam kelas sangat tidak
memungkinkan untuk menghadirkan sapi agar siswa bisa melakukan pengamatan.
Sebagian kalangan yang lebih keras malah melihat
kelas sebagai sebuah penjara berfikir untuk anak-anak. Memenjarakan siswa dari
fakta sebenarnya, sehingga ilmu menjadi sebuah mitos yang tidak bermanfaat bagi
kehidupan sehari-hari mereka.
Hal yang meliputi tubuh tidak kalah pentingnya dalam
proses belajar karena mengacu pada nilai-nilai kesetaraan. Siswa di banyak
sekolah menjadi objek dari proses mendidik dan guru menjadi subjeknya. Ini
kemudian berimplikasi pada tata ruang da komunikasinya. Sebagai contoh, kita
bisa melihat tata letak kursi yang saling berhadap-hadapan. Guru di depan
dengan meja bertaplak sementara siswa semuan menghadap ke arah guru. Kita bisa
juga melihat arah papan tulis yang menghadap ke siswa dan guru membelakangi
papan, seharusnya keduanya bisa menghadap bersamaan. Tidak jarang, sekolah
membuat lantai yang lebih tinggi di bagian depan yang menegaskan posisi guru
lebih tinggi dibandingkan siswa. Padahal, bentuk komunikasi guru yang tidak
egaliter—posisi guru berdiri dan anak harus mendongak ke arah wajah guru—sudah
mempengaruhi secara psikis. Idealnya guru bisa berjongkok agar posisi tubuh
sama tinggi dan menegaskan kesamaan posisi antara guru dan siswa.
2.
Aras
sosial
Aras berikutnya berhubungan dengan lingkungan dan
suasana belajar. Masih berkaitan dengan penjelasan sebelumnya, aras fisik akan
menentukan suasana belajar di sekolah. Sekolah mestinya mampu menciptakan
suasana belajar yang menyenangkan untuk memaksimalkan proses pendidikan,
bukannya mempakemkan formalitas perangkat pendidikan seperti silabi, ruang
belajar, buku-buku teks, seragam dan sebagainya.
Memunculkan ketertarikan siswa untuk mengikuti
adalah hal yang utama untuk diperhatikan. Jika dengan bernyanyi bisa
memunculkan semangat belajar siswa, kenapa tidak melakukannya. Demikian
seterusnya, misalkan dengan bermain, jalan-jalan, nonton video, games, teka teki, dinamika kelompok,
simulasi, membuat kompos, menanam bunga dan semacamnya.
Kemudian lingkungan di sekitar harus turut mendukung
proses belajar. Pendidikan bukan hanya menjadi tanggung jawab sekolah tetapi
semua orang, khususnya keluarga. Dalam keseluruhan aktifitas anak dalam sehari
semalam, sekolah hanya mengambil peran dalam proses pendidikan sekira 25% saja.
Selebihnya, keluarga dan lingkungan masyarakatlah yang akan mendidik
anak-anaknya.
Daya dukung masyarakat terhadap proses mendidik anak
akan menentukan tercapai tidaknya tujuan pendidikan yang dicita-citakan. Jadi
dengan melibatkan seluruh elemen yang ada di masyarakat menjadi perlu
dilakukan. Tidak lagi harus guru seorang yang melakukan proses pendidikan.
Misalnya dengan menjadikan kelompok tani untuk mengajar anak membuat kompos,
tentang pertanian organik, pengelolaan lahan ramah lingkungan dan sebagainya.
Atau bisa juga mengundang ahli bangunan di desa untuk mengajarkan anak tentang
konstruksi bangunan serta nilai-nilai yang ada dalam tiap bagian bangunan.
Mengajak kepala desa untuk menjelaskan struktur pemerintahan secara umum serta
nilai-nilai kenegaraan, atau memanfaatkan peran imam desa dalam menanamkan
nilai-nilai agama ke siswa.
Dengan melibatkan banyak pihak di masyarakat dalam
proses pendidikan maka tujuan ideal bukan hanya bisa dicapai tetapi juga dapat
dirumuskan secara bersama-sama. Jadi setiap orang di lingkungan sekitar sekolah
bisa berkontribusi di dalamnya. Turut bertanggung jawab atas masa depan
generasi mendatang yang akan meneruskan peran-peran orang desa.
3.
Aras
ide
Aras yang terakhir ini berkaitan dengan kemerdekaan
berfikir bagi seluruh orang di dalam proses pendidikan, tanpa terkecuali. Bebas
menggunakan seluruh potensi berfikirnya serta mampu berkontribusi dalam
pengembangan pendidikan.
Jadi idealnya, ideologi pendidikan bukan hanya
dirumuskan oleh sekelompok orang saja kemudian menjeneralkannya ke seluruh
sekolah yang ada. Hal itu bisa dinilai sebagai bentuk penindasan kemerdekaan
ide individu. Memang perlu ada pembatasan mengenai kemerdekaan ide, namun
sepanjang kemerdekaan itu bisa diterima oleh kemerdekaan individu yang lain
maka perlu menjadikannya sebagai bagian dari ideologisasi pendidikan.
Orde Baru sebenarnya yang telah memulai penyakit
dalam pendidikan ini. Pahaman untuk mengedepankan stabilitas untuk mengamankan
kekuasaan berimplikasi hingga ke sistem pendidikan. Pada bagian ini dibuatlah
sebuah kurikulum paten sebagai salah satu perangkat sistem agar kemerdekaan
anak-anak dalam berfikir mampu dibendung secara formal.
Implikasi lebih jauh, guru secara tidak sadar
kemudian mengikuti praktek penjajahan ide ke peserta didiknya. Otoritas tunggal
berlaku proses berpengetahuan berjalan hingga puluhan tahun. Tidak ada ruang
bagi siswa untuk mengekspresikan idenya di sekolah karena aturan yang berlaku
telah membatasi keseluruhan proses pendidikan. Misalnya minat siswa untuk
mempelajari bioteknologi sederhana—siswa ingin mempelajari tentang budidaya
cacing, serangga dan musuh alami sebagai alternatif pestisida kimia di kebun
orang tuan mereka—tidak akan bisa dilakukan sekolah karena sudah ada kurikulum
dan perencanaan pengajaran yang secara formalitas ditentukan sendiri oleh guru.
Penetapan mengenai apa yang akan dipelajari siswa
tidak melibatkan sama sekali ide dari siswa. Siswa masih dianggap sebagai objek
pendidikan yang pasif dan tidak mampu menentukan hal yang baik untuk mereka.
Guru pun bertindak seperti itu karena ada otoritas yang lebih tinggi dari
dirinya sehingga harus mengikuti garis-garis yang ditentukan oleh kekuasaan
negara melalui perangkat struktural pendidikan formal. Jika keluar dari acuan
tersebut, bisa jadi ancaman pemecatan harus mereka terima. Bahkan untuk sekolah
sekalipun mungkin saja akan terancam gulung tikar karena negara akan menutup
rapat-rapat penganggaran di sekolah tersebut.
Mencari
Alternatif Untuk Pendidikan
MEMBICARAKAN PENDIDIKAN bukan berarti harus
mempertentangkan antara pendidikan formal, informal maupun alternatif. Tetapi
bagaimana memaksimalkan ketiga model yang ada untuk bisa memaksimalkan potensi
kemanusiaan anak. Sangatlah tidak beralasan untuk mempertentangkan ketiga model
mengingat masing-masing memiliki keunggulan dan kelemahan.
Sekali lagi perlu untuk menegaskan bahwa model yang
ada saat ini hanyalah alat, bukan sebagai tujuan pendidikan. Bahkan pedagogi
yang coba dirumuskan oleh Paulo Freire—yang banyak digunakan oleh kelompok
pemerhati pendidikan sebagai acuan membuat model pendidikan
alternatif—sekalipun belumlah sempurna. Masih perlu ada penyesuaian-penyesuaian
dengan konteks masyarakat di masing-masing wilayah. Tetapi untuk menggeledah
sistem pendidikan yang sedang berjalan, apa yang menjadi ide dasar pendidikan
manusia Freire ini penting dijadikan bahan refleksi kita bersama.
Salah satu konsep yang bisa menjadi contoh adalah
Volk School di Jerman. Sebuah konsep
sekolah yang mengajarkan anak-anak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
sendiri. Sekolah ini tidak menghilangkan
sekolah formal yang sudah ada sebagai
sebuah pendidikan standar internasional. Pemerintah hanya menerapkan jam
tambahan untuk anak-anak usia pendidikan dasar (pre elementry-elementry-midle) dan menyarankan mereka untuk bisa
mengakses Volk School.
Pemerintah menyediakan sekian hektar lahan untuk
pusat aktifitas sekolah setelah siswa menyelesaikan pendidikan formalnya. Di
lahan ini anak-anak bisa menghabiskan waktunya untuk mengolah makanan, bercocok
tanam, membuat mainan, melakukan penelitian, memfermentasi buah-buahan menjadi
minuman dan sebagainya untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Volk School
lebih menekankan pada pembentukan karakter siswa dan mengajarkan mereka untuk
bertanggung jawab pada hidupnya (pemenuhan kebutuhan dasar hidup siswa secara
mandiri). Tidak ada rumus, hapalan, buku teks, ruang kelas, papan tulis. Semuanya
belajar tentang pemenuhan kebutuhan hidup dan mempelajari nilai-nilai dasar
kemanusiaan (tanggung jawab, saling menghargai, hormat-menghormati, tidak
saling menyakiti, kemandirian dan lain-lain). Saling berhubungan antar sesama
manusia, bahkan dengan ekosistem tempat
manusia menjalani hidup.
Sekolah formal pun menjadi penting di bagian-bagian
tertentu. Selain untuk memenuhi kebutuhan pengetahuan standar masyarakat global
seperti kemampuan bahasa, sejarah, berhitung, pengetahuan alam dan sosial serta
kesenian, sekolah formal juga harus mampu menjadi tulang punggung penanaman
nilai-nilai ideologi kebangsaan. Menanamkan rasa bangga atas bangsa, semangat
persatuan serta nilai-nilai bangsa lainnya.
Negara Jepang bisa kita jadikan sebagai contoh
menarik bagaimana ideologisasi negara kemudian mampu menciptakan generasi
tangguh untuk menangkal kepentingan luar yang akan menciptakan ketergantungan.
Pada dekade 1990-an, ketika banyak negara besar
kelebihan dalam produksi, salah satunya AS, kesulitan mencari pasar, khususnya
untuk produk pertanian. Sementara petani mendesakkan pada negara untuk
mencarikan pasar bagi produk pertanian yang telah dihasilkan karena pasar dalam
negeri tidak lagi mampu menyerapnya. Akhirnya AS melakukan intervensi pasar ke
negara lain, salah satunya ke Jepang. Kemudian pemerintah Jepang menolaknya
dengan mengemukakan alasan bahwa masyarakat Jepang belum membutuhkan produk
pertanian yang ditawarkan AS karena mereka masih mampu memenuhinya sendiri.
Apa yang menjadi kebijakan pasar pemerintah Jepang
ini tidaklah terjadi dengan sendirinya, tetapi telah melalui ideologisasi yang
panjang. Menumbuhkan kesadaran pada masyarakatnya untuk memenuhi kebutuhan
dasarnya secara mandiri tanpa menggantungkannya pada negara lain. mewujudkan
kedaulatan bangsa Jepang yang dimulai dengan berdaulat secara pangan. Bagaimana
sebenarnya ideologisasi ini berlangsung? Salah satunya kita bisa menyimak dari
cerita pengalaman belajar Mahmudi di sana.
Saat Mahmudi berkunjung ke Jepang dan melihat proses
belajar, dia melihat bagaimana proses ideologisasi negara di sana dilakukan.
sebelum mulai proses belajar, siswa mengucapkan salam dan serentak berucap:
“KAMI ANAK JEPANG, BANGGA MENJADI BANGSA JEPANG. KAMI MAKAN BERAS JEPANG. BERAS
JEPANG ADALAH BERAS PALING ENAK DI DUNIA. PATUNG DEWI SRI TERBESAR ADA DI
JEPANG MENGHADAP KE SELATAN. KALAU MENCARI KEMAKMURAN JANGAN KE UTARA, KARENA
KEMAKMURAN ADA DI SELATAN.”
Kalimat di atas bukan hanya diucapkan saja, tetapi
siswa menyerap apa yang mereka teriakkan setiap hari sebelum belajar.
Menegaskan bahwa sumber kemakmuran bisa diciptakan dari tanah dan air sendiri.
Seluruh kebutuhan dasar—melingkupi kebutuhan sandang, pangan dan
papan—masyarakat bisa dipenuhi di dalam negeri dan tidak menyerahkan kepada
negara luar untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Negara bisa memulainya melalui
pendidikan formal. Menanamkan nasionalisme serta nilai-nilai ideologi
kenegaraan sejak dini di siswa melalui sekolah formal agar mampu mendukung
perumusan kebijakan yang lebih berdaulat di masa mendatang.
Contoh lain bisa kita lihat di Kuba pada masa
revolusi hijau. Ketika negara ini diisolasi dari dunia luar karena menolak
revolusi hijau, pemerintahan kemudian melakukan pembenahan di masyarakatnya
melalui pendidikan. Caranya dengan melibatkan siswa tingkat menengah dalam
riset bioteknologi untuk mendukung proses pertanian masyarakat di desa.
Pemerintah membangun laboratotium biotek di setiap desa dan memberikan tanggung
jawab kepada siswa untuk melakukan riset pertaniannya bersama petani lainnya.[2]
Masih banyak contoh lain yang bisa kita terapkan
dalam mencari format terbaik untuk pendidikan dalam konteks masyarakat Sulawesi
Selatan umumnya. Cara lain yang mungkin bisa digunakan adalah dengan
mensinergikannya dengan proses penanaman nilai-nilai agama maupun dalam praktek
keagamaan lain, praktek kebudayaan lokal dan sebagainya.
***
Tassese
Dengan Permasalahan Pendidikan
TASSESE, sebuah desa di wilayah pegunungan terjal
berbatu sempat terisolir dari ‘dunia luar’. Salah satu desa yang masuk dalam
wilayah administrasi Kecamatan Manuju, Kabupaten Gowa. Hingga akhirnya
pemerintah menyelimuti jalan poros desa dengan aspal hitam. Mula-mula
transportasi mulai masuk membawa paket modernisasi berikut seluruh
implikasinya. Keterisolasian Tassese kemudian menjadi jualan bagi Dinas
Pendidikan untuk menyambut utang luar negeri dari Ausaid untuk mendirikan
bangunan sekolah SMPN 3 SATAP Tassese.[3]
Sebagaimana umumnya sekolah SATAP di tempat
lain—yang juga mendapat bantuan utang dari Ausaid—donor membangun tiga ruang
kelas di atas tanah wakaf kurang lebih luasnya satu hektar. Tentunya masyarakat
menyambut dengan gembira sesuatu yang nampaknya memberikan harapan tentang
cita-cita pendidikan ideal.
Namun kegembiraan tersebut tidaklah berlalu lama.
Baru satu angkatan sekolah meluluskan siswa, masalah pun mulai bermunculan.
Sekolah kekurangan guru pengajar. Tidak banyak honoris yang mau mengabdikan
dirinya ke pelosok kecamatan dengan medan jalan sangat curam. Butuh kurang
lebih satu jam dari ibu kota Kabupaten untuk bisa sampai di Tassese. Itu pun
jika menggunakan kendaraan roda dua. Jika menggunakan transportasi pete’-pete’ tentu akan memakan waktu
lebih lama.
Bukan hanya guru, nyatanya utang yang Ausaid berikan
tidak memuat bahan ajar, alat peraga dan peningkatan kapasitas guru sebagai
pendukung proses pendidikan. Padahal tiga poin tersebut tidak kalah pentingnya
dari kemewahan gedung kelas yang semakin menjauhkan siswa dari realitas.
Kebijakan daerah untuk membebaskan seluruh bisaya
pendidikan kemudian memperparah kondisi sekolah. Jika sebelumnya orang tua
siswa turut berkontribusi dalam pendidikan di sekolah—salah satunya dengan
membiayai oprasional sekolah—kini kontribusi itu lenyap sama sekali. Rasa
kepemilikan atas sekolah musnah karena tidak ada ‘investasi’ personal yang mengikatnya.
Akhirnya pendidikan hanya menjadi tanggung jawab sekolah, bukan menjadi
tanggung jawab semua orang.
Rudin, kepala sekolah SMPN 3 SATAP Tassese,
menceritakan kondisi kondisi guru-guru hubungannya dengan orang tua siswa di
masa lalu. Ketika siswa akan menjalani kelulusan, orang tua siswa biasanya akan
mempersiapkan sesuatu untuk guru-guru yang selama di sekolah mendidik anaknya.
Ada yang mempersiapkan ayam, songkolo,
beras terbaik dan bahan makanan lainnya untuk mereka serahkan kepada guru. Jadi
saat sekolah secara formal melepaskan tanggung jawabnya dari siswa, orang tua
memberikan apa yang mereka miliki sebagai bentuk trima kasihnya. Ketika
pemerintah kabupaten menekankan sekolah geratis ke masyarakat, kemudian tradisi
ini hilang bersama rasa tanggung jawab orang tua pada pendidikan anak. Semuanya
sudah geratis, lantas jika anak gagal di sekolahnya toh tidak ada yang dirugikan.
Memang cerita singkat ini hanya menggambarkan secara
mendalam keacuhan masyarakat terhadap pendidikan anak di Tassese saat ini. Tapi
bukan berarti membenarkan kondisi pendidikan di sana baik-baik saja. Sebenarnya
ada banyak cerita yang bisa dipaparkan dalam tulisan ini, tetapi itu hanya menambah
daftar panjang bobroknya pendidikan di Indonesia pada umumnya.
Tantangan
Mbah Roem
PENULIS tentu tidak akan berbicara banyak soal
Ausaid, utang dan sekolah ketika tidak pernah terlibat secara langsung di
dalamnya. Justeru semua cerita ini berawal dari keterlibatan penulis dalam
riset yang dilakukan program dalam proses evaluasi.
Riset kualitatif untuk melihat implikasi dari
program utang pembangunan gedung sekolah dilakukan setelah sekolah itu beroperasi.
Saat itu Roem Topatimasang[4]—peneliti
inti—mengajak beberapa anak muda untuk terlibat dalam riset ini. Anak muda
‘galau’ yang sedang belajar meneliti dan mengenal desa dengan cara pandang
berbeda.
Tim riset kemudian membagi diri untuk menemui
beberapa informan yang terdiri dari siswa, guru, orang tua siswa dan kepala
sekolah. Melihat seperti apa sistem sekolah yang baru bekerja, mengukur
efektifitas bantuan, bentuk keterlibatan masyarakat, serta implikasinya
terhadap siswa.
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, kemewahan
gedung ternyata tidak menjawab kebutuhan anak-anak di Tassese akan pendidikan.
Setiap harinya siswa kerap terlantar tanpa pengajar. Bahkan terancam tidak bisa
lulus dalam ujian nasional yang waktunya sudah semakin dekat.
Malam tiba, tim riset melakukan diskusi kecil
sebagai bentuk refleksi dalam melihat fakta lapangan. Di akhir diskusi, Roem
menantang anak-anak muda yang membantu risetnya untuk menyelesaikan masalah di
sekolah ini. Mereka tidak menerima, tetapi tidak pula menolak tantangan
tersebut. Diskusi pun menjadi senyap sesaat tanpa ada keputusan yang jelas.
Cikal Bakal
Lahirnya PILAR (Pintu Belajar)
SEMINGGU setelah pulang dari Tassese, rupanya
Randie—salah satu anak muda yang terlibat dalam riset kualitatif di
Tassese—terganggu dengan tantangan dari Roem. Kemudian mulai menggagas rencana
bersama teman-teman yang lain.
Setelah berdiskusi lama, akhirnya mereka memutuskan
untuk membuat langkah taktis untuk sementara ini. Menyelesaikan masalah sekolah
yang tidak memiliki guru Bahasa Inggris dengan mencari tenaga sukarela.
Persiapan pun mereka lakukan, mulai dari mengkomunikasikan
rencana ini dengan pihak sekolah, menyebarluaskan informasi untuk menjaring
tenaga pengajar, membuat jadwal pengajaran hingga mempersiapkan tempat tinggal
untuk guru sukarela nantinya. Demikian semangatnya hingga terlupakan untuk
mengusahakan logistik dan kebutuhan lain di Tassese yang akhirnya ditaktisi
dengan mengharap father and mother
fundation.[5]
Tenaga sukarela sebagian besar terkumpul dari
jejaring sosial karena informasi mereka sebarkan melalui media tersebut.
Setelah terkumpul, perjalanan sembilan bulan pun mereka lalui bersama. Mengajar
sekaligus belajar bersama anak-anak di Tassese.
Ikatan emosional yang terbangun kemudian memunculkan
gagasan untuk membuat sesuatu yang lebih mengikat. Kemudian mereka membentuk
kelompok bernama PILAR, sebuah Pintu Belajar. Kelompok voluteer yang prihatin dengan kondisi pendidikan yang semakin
memburuk dengan segala faktor yang hadir silih berganti.
PILAR juga mulai membenahi kelompoknya dengan
melakukan perencanaan yang lebih terukur serta menyebarluaskan gerakannya untuk
menjaring pihak-pihak lain terlibat dan bisa melakukan hal yang sama di tempat
lain. Salah satunya dengan melibatkan kelompok pedagang di Pasar Terong, SADAR
(Persaudaraan Pedagang Pasar Terong) untuk menyediakan kebutuhan logistiknya.
Dalam perjalanannya PILAR sadar akan kebutuhan
orang-orang di dalamnya untuk meningkatkan kapasitasnya di desa. Bagaimana
PILAR bisa melihat lebih kritis apa yang ada di dalam desa dan menganalisisnya
lebih dalam.
Komunitas Ininnawa segera menyambut baik kebutuhan
PILAR ini dengan merancang sebuah pelatihan riset desa di Tassese. Buakan hanya
PILAR saja yang menjadi sasaran pelatihan tetapi juga dengan siswa SMPN 3 SATAP
Tassese. Mereka ikut dilibatkan sebagai peserta. kemudian rencana pelatihan ini
terus berkembang dengan melibatkan lebih banyak masyarakat Tassese.
Rencana ini akhirnya Roem dengar dan menawarkan
dirinya untuk menjadi salah satu fasilitator di dalam pelatihan bersama
fasilitator lain seperti Hasriady Ari, Ishak Salim, Armin Hari, Siswandi dan teman-teman
lainnya.
Kehilangan
Semangat
SEPERTI EJAKULASI DINI, PILAR kemudian lenyap
bersama rutinitas kerja orang-orang di dalamnya. Namun bukan berati tidak ada
upaya dari mereka untuk menhidupkan kembali bara semangatnya. Misalnya apa yang
Ahmad Silaban—salah satu anggota PILAR, hasil dari pelatihan riset desa—lakukan
dengan menindaklanjuti temuannya dalam riset tentang tanaman palawija.
Sembari melakukan ujicoba tanaman
palawija—pengalaman masa lalu ketika masih menetap di kampung halamannya di
Sumatera—Ahmad juga tetap mengajar di SMPN 3 SATAP Tassese. Ahmad juga terus
menjalin komunikasi dengan anggota PILAR lainnya sekaligus mengundang mereka
agar kembali mengajar. Walaupun akhirnya ujicoba gagal—tanaman palawija dirusak
oleh semut tanah, sebelumnya warga memperingatkan ancaman hama babi dan
kera—setidaknya apa yang dilakukan Ahmad mampu menutupi kekosongan aktifitas
PILAR di masa vakumnya.
Peluang menghidupkan kembali semangat PILAR adalah
siklus tahunan sekolah menghadapi ‘ancaman’ ujian nasional. PILAR pada momen
ini bisa kembali besemangat, namun setelahnya kembali redup.
Dari diskusi satu ke diskusi yang lain ternyata
menciptakan media refleksi bagi orang-orang di PILAR. Mengevaluasi kembali apa
yang sudah PILAR lakukan selam ini di Tassese dengan masyarakat di dalamnya. Mulai
menyadari bahwa mengajar di sekolah formal tujuan awalnya sebuah langkah
taktis, bukan menjadi tujuan utama kerja PILAR.
Hal lain yang PILAR lakukan adalah melihat lebih
jauh implikasi dari apa yang mereka lakukan selama di Tassese. Berusaha untuk
meminimalkan efek negatif yang mungkin dimunculkan seperti ketergantungan
sekolah terhadap volunteer. Hadir
juga anggapan bahwa PILAR sedang membenarkan ‘keacuhan’ tenaga pengajar dengan
mengambil peran mereka. Semua pertanyaan inilah yang berusaha untuk PILAR jawab
dari proses refleksinya.
Menyusun Kembali
Rencana Pengorganisasian di Tassese
JUM’AT, 18 Mei pertemuan ‘dadakan’ dibuat. Tujuannya
untuk merumuskan beberapa rencana tindak lanjut pengorganisasian yang lebih
panjang di Tassese. Hadirlah beberapa anggota baru PILAR—yang tiga bulan
sebelumnya beraktifitas lagi di Tassese—turut berkontribusi dalam penyusunan
rencana. Sebelum menyusunnya, peserta pertemuan melakukan refleksi untuk
kesekian kalinya melihat lebih dalam apa yang mereka sudah kerjakan.
Pertemuan memutuskan tidak lagi memorsikan energinya
pada proses mengajar dan mempersiapkan siswa menghadapi ujian nasional saja.
Tetapi lebih jauh lagi akan menjadikan pendidikan dan sekolah sebagai pintu
masuk pengorganisasian berbasis desa.
Kebutuhan yang paling mendesak saat ini adalah rumah
untuk PILAR tempati selama beraktifitas di Tassese. Tujuannya supaya aktifitas
PILAR tidak lagi membebani warga karena selama ini tenaga pengajar sukarela
menggunakan rumah Rudin dan Lawang (guru tetap SMPN 3 SATAP Tassese) sebagai
tempat tinggalnya selama di Tassese. Maka ditunjuklah sebuah rumah
kosong—sebelumnya menjadi perumahan guru, saat ini kondisinya rusak dan tidak
layak huni—untuk direnovasi agar bisa difungsikan kembali untuk kegiatan
volunteer selama berada di Tassese.
Tempat itu juga rencananya menjadi pusat aktifitas
pengorganisasian dalam jangka panjang. Menjadi sekolah kedua setelah siswa
menyelesaikan jam sekolah formalnya. Selain anak-anak, orang dewasa pun bisa
mengakses tempat ini sebagai media belajar PILAR bersama masyarakat sekitar.
Jadi sasarannya akan mejadi luas, melingkupi masyarakat Tassese secara umum.
Lebih jauh, pertemuan membayangkan tempat ini bisa
membuat sebagian sudut ruangnya sebagai perpustakaan umum. Kemudian sebagian
lahan yang tersisa akan dijadikan sebagai lahan percontohan untuk pertanian
sayur organik. Dari proses belajar pertanian ini diharapkan profesi bertani
tidak lagi dipandang sebelah mata. Coba menghapus stigma bahwa petani identik
dengan kemiskinan, pekerjaan kasar, tidak berpendidikan dan stigma negatif
lainnya. Gagasan terus berkembang hingga ke rencana membuat sanggar seni untuk
anak-anak. Tujuannya untuk menggali nilai-nilai lokal masyarakat Tassese
kemudian anak bisa meresapinya hingga di masa mendatang.
Untuk memaksimalkan proses tersebut, maka dibutukan
keterlibatan lebih banyak orang baik berupa gagasan, tenaga maupun
sumber-sumber finansial karena persoalan pendidikan di Tassese bukan menjadi
tanggung jawab sekolah dan PILAR saja, tapi semua orang yang pernah mendengar maupun
membaca cerita ini.
***
Epilog
PILAR sadar bahwasanya apa yang mereka lakukan
bukanlah satu-satunya solusi untuk menjawab kebutuhan Tassese. Kedepannya,
pasti ada gagasan yang lebih progressif
dengan baik yang muncul dari kelompok masyarakat, PILAR maupun kelompok lainnya
yang juga turut memperhatikan penyelenggaraan pendidikan. Namun saat ini,
gagasan di ataslah yang mampu PILAR lakukan dengan memperhitungkan beberapa
potensi yang mereka miliki.
Dengan seluruh potensi yang dimiliki PILAR saat ini
pun gagasan ini tidak akan berjalan dengan maksimal. Maka perlu untuk melakukan
desiminasi informasi mengenai rencana di Tassese ke masyarakat luas. Tujuannya
adalah agar kemudian mampu menjaring lebih banyak kelompok yang ada untuk
bersama mewujudkan cita-cita pendidikan dalam konteks Tassese.
PILAR pun tidak akan membuat batasan-batasan
keterlibatan dalam rencana ini, apakah akan mengambil peran sebagai volunteer,
pengorganisir, penggagas ide, pendanaan, doa maupun dukungan lainnya. Semua
peran akan sangat penting dalam proses yang akan dilakukan di Tassese
kedepannya.
Setidaknya Tassese bisa menjadi contoh bagi kelompok
lain untuk mulai melakukan hal serupa di tempat yang berbeda. Merebut
ruang-ruang pendidikan yang belum mampu negara jangkau sembari memperbaiki
sistem pendidikan yang ada dengan memulainya dari bawah. Memulai dengan
kerja-kerja kecil untuk bisa lebih mendorongnya pada usaha gerakan sosial yang
lebih luas.[]
Daftar Kebutuhan Sekret Pilar
Nama Barang
|
Jumlah Barang
|
Harga Satuan
|
Total Harga
|
Seng
Selang
Semen putih
Lem fox
Kabel
Terminal Listrik
Bola Lampu
Saklar
Karpet
Wipoll
Sikat
Paku Seng
Panci
Wajan
Sendok
Piring
Gelas
Mangkok
Rak Buku
|
5 Lembar
1 Roll
1 Sak
5 Bungkus
20 Meter
3 Buah
4 Buah
4 Buah
2 Meter
1 Buah
1 Buah
1 Dos
1 Buah
1 Buah
1 Lusin
1 Lusin
1 Lusin
1 Lusin
2 Buah
|
@ Rp 35.000,-
@ Rp 300.000,-
@ Rp 75.000,-
@ Rp
10.000,-
@ Rp 3.000,-
@ Rp
11.000,-
@ Rp
25.000,-
@ Rp
5.000,-
@ Rp 100.000,-
@ Rp
19.000,-
@ Rp 10.000,-
@ Rp
20.000,-
@ Rp
30.000,-
@ Rp
30.000,-
@ Rp
25.000,-
@ Rp
70.000,-
@ Rp
50.000,-
@ Rp
70.000,-
@ Rp 100.000,-
|
Rp 175.000,-
Rp 300.000,-
Rp 75.000,-
Rp 50.000,-
Rp 60.000,-
Rp 33.000,-
Rp 100.000,-
Rp 20.000,-
Rp 200.000,-
Rp 19.000,-
Rp 10.000,-
Rp 20.000,-
Rp 30.000,-
Rp 30.000,-
Rp 25.000,-
Rp 70.000,-
Rp 50.000,-
Rp 70.000,-
Rp 200.000,-
|
TOTAL
|
RP 1.537.000,-
|
[1] Merupakan salah seorang pemerhati pendidikan nasional. Dia banyak
mengisi pelatihan-pelatihan seputar pendidikan seperti ...
[2] Lihat buku “Kuba Melawan Revolusi Hijau”
[3] Salah satu sekolah yang dibangun pada tahun 2007 melalui bantuan utang
dari AUSAID. Program blog grand bangunan
sekolah dengan nama AIBEP (Austalia Indonesia ... Education Program) telah
membangun sekira dua ribu sekolah di Indonesia—minus Papua—sejak 2006 lalu.
[4] Salah satu tokoh tranformasi sosial di Indonesia. saat ini banyak
melakukan aktifitas bersama jaringan Insist Yogyakarta di banyak desa di
Indonesia. Keseriusannya dalam menyoroti persoalan pendidikan dituangkan pula
dengan menulis salah satu buku berjudul Sekolah Itu Candu pada tahun 200...
[5] Istilah yang digunakan untuk merujuk sumber dana para pekerja sukarela
di Tassese yang masih disubsidi oleh orang tuanya. Sebagian besar tenaga
sukarela juga masih menyandang status sebagai mahasiswa, jadi belum memiliki
sumber finansial sendiri.
Agung Prabowo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar