Rabu, 11 April 2012

Aco: "Pammopporanga', Pak!"



Massangki’, salah satu tahap dari serangkaian proses menanam dan memanen padi dikebanyakan desa pelosok, juga Desa Tassese’. Bulan April-Mei ini adalah saat-saat sibuk bagi Tassese, sebuah desa kecil dengan semangat yang besar di ujung Kecamatan Mannuju, dekat Gunung Bawakaraeng, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Mereka tengah dimasa panen. Petak-petak ladang sawah yang tersebar mengelilingi desa sudah menguning. Petak-petak sawah yang menguning itu kemudian mengantri untuk dieksekusi masing-masing. Tahap pertamanya disebut massangki’.

Sangat jarang bisa kita temui ada dua atau lebih petak sawah yang dikerja dalam waktu bersamaan. Di desa ini ada sangat banyak petak sawah. Hal itu didukung dengan profesi hampir setiap warganya memang petani. Bahkan, anak kecil pun banyak yang bangga menyebut dirinya seorang calon petani, sebagian malah tidak ragu lagi. “Petanika saya, kak!” kata mereka.

Dalam proses massangki’, setiap warga desa, tanpa diminta, akan dengan ikhlas berkumpul di lokasi sawah yang akan di sangki’ pada hari itu. Dalam proses ini, tanaman padi yang telah menguning kemudian akan dipotong sedikit demi sedikit. Setelah satu petak sawah habis terpanen, tanaman-tanaman padi yang telah dipotong tadi kemudian diolah menggunakan sebuah mesin yang secara otomatis berfungsi untuk memisahkan gabah bersih dengan batang dan daunnya. Setelah gabah terpisah dan terkumpul, butir-butir gabah itu kemudian dikumpul dalam beberapa karung. Gabah dalam karung tersebut kemudian menunggu untuk diangkut ke rumah petani yang petak sawahnya telah di sangki’.

Warga-warga yang membantunya massangki’, memisahkan, dan mengangkat gabah itu tidak digaji. Mereka melakukannya secara sukarela. Ada kenikmatan tersendiri dengan berkumpul di tengah ladang setelah berolahraga alami dan berjemur di bawah terik seharian untuk massangki’. Berkumpul sambil makan nasi, songkolo’ (beras ketan), ikan asin, dan sayur bening, ditemani kopi hitam dan beberapa tembakau. Nikmat. Ini wajah solidaritas dan kerja sama warga yang nyata dan sangat bermakna.

Kegiatan ini sering disebut “Arisan Petani” oleh warga setempat. Saat ini memang saat yang ditunggu-tunggu, juga oleh beberapa anak-anak.





Namanya Aco. Anak kelas 5 SD Tassese’. Anak dari Pak Lawang, salah satu guru yang tinggal menetap di Desa Tassese. Dia sudah seperti adik ku, adik kawan-kawan di PILAR. Bagaimana tidak, setiap harinya, jika di Tassese, rumahnya selau saja menjadi tempat kami berkumpul dan tidur melepas penat.


Terik siang ini tidak melemahkan semangatnya sedikitpun. Ditemani sorot matahari yang cerah dan menusuk, Aco terus saja melanjutkan langkahnya sambil memikul satu demi satu karung kecil gabah hasil panen. Meski hanya memikul satu karung kecil, tapi dia sudah bolak-balik sekitar 5 kali. Beberapa karung kecil gabah yang dipikulnya kemudian dia satukan dalam sebuah karung gabah besar dengan kapasitas sekitar 1 ton. Menjelang tengah hari, Aco sudah berhasil mengumpulkan ¾ karung gabah. Mungkin butuh sekitar 2 atau 3 kali lagi bolak-balik dari ladang ke rumah untuk memenuhkan karung itu.

Aco termasuk anak yang suka bermain dan menghabiskan waktu dengan kegiatan-kegiatan yang menurutnya asyik. Akhir-akhir ini, dia sangat suka berkeliling desa naik sepeda motor milik Pak Lawang, ayahnya. Seringkali, ketika diajak ke kebun, atau ke ladang oleh beberapa keluarga, dia mengelak. Hal ini sebenarnya cukup wajar, mengingat usianya yang masih cukup muda, 9 tahun, untuk turun ke ladang dan bekerja seperti warga lain yang sudah tergolong kuat dan dewasa.

Minggu pagi tadi, seperti biasa, Aco kembali merengek pada ayahnya. Kali ini dia minta dipinjamkan motor. Semangat untuk berkeliling desa dengan motor, bagi seorang anak yang baru saja pintar mengendarainya, sedang menggebu-gebu.

Untuk Tassese, bensin bisa digolongkan salah satu barang langka. Terkhusus dimasa krisis BBM seperti ini. Per botolnya, dijual seharga Rp 6.000,-. Penjual bensin botolan di desa ini juga hanya satu. Letaknya hampir didekat perbatasan Desa Tassese dan Mannuju. Cukup jauh dari rumah Pak Lawang.

Karena intensitas Aco keliling desa akhir-akhir ini dengan motor semakin sering, persediaan bensin Pak Lawang semakin menipis. Padahal, dia sengaja mengisi tangki motornya penuh untuk persediaan beberapa hari. Sore kemarin, Pak Lawang sempat naik darah, emosi, sambil menasehati Aco, anaknya, yang mungkin belum paham tentang kelangkaan dan berhemat bensin.

Pagi tadi, setelah sarapan, saya dan seorang teman duduk-duduk di teras rumah. Pak Lawang tengah sibuk di ladangnya, menjaga padi dan mengurus beberapa ekor ternak sapinya. Beberapa warga pun tengah bersiap menuju ladang yang hari ini mendapat giliran massangki’.

Beberapa jam duduk di teras rumah, sambil ditemani kopi dan satu keranjang langsat hasil pohon Dg.Nassa’, warga yang tinggal di sebelah rumah Pak Lawang, saya dan seorang teman terus saja memperhatikan Aco. Setelah beberapa kali bolak-balik mengangkat beberapa karung gabah, dia duduk di sampingku. Mengatur nafas yang saling bersahutan, dengan keringat mengalir dari kening ke badan mungilnya. Pada saat itu, Aco’ hanya mengenakan celana pendek yang cukup butut. Dia sengaja memakainya, karena punya rencana kalau hari ini akan menghabiskan waktu dengan karung gabah dan lumpur-lumpur di ladang.

Nafasnya tidak beraturan. Secangkir air putih yang langsung habis dengan sekali telan cukup menggambarkan betapa lelahnya anak ini. Siang itu, saya menyarankannya berhenti mengangkat gabah. Istirahat. Tidak tega saya melihat lelahnya siang itu.

Dengan tegas, dia menolak tawaranku istirahat. Katanya, “Kuselesaikan dulu satu karung,kak. Dijanjika uang Rp 10.000,- kalo bisa ka angkat 1 karung gabah. Mauka beli bensin untuk bapak.”

Suasana pagi di Tassese, sebuah desa kecil dengan semangat besar.


- Nur Utami -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar