Selasa, 03 April 2012

Wajah Baru Tassese


Hampir dua tahun saya absen dari desa ini. Banyak hal yang perlu diselesaikan di tempat lain. Ada tanggung jawab yang lebih prioritas untuk ditunaikan terlebih dulu. Yang kemudian membuat rindu untuk menapak jalan ke Tassese semakin menumpuk.


Beberapa kali, saya hanya mendengar cerita dari teman-teman yang sudah berkali-kali pulang-pergi Tassese-Makassar. Sampai ada kalanya saat untuk jauh dan pergi sebentar ketika mereka sedang asyik cerita tentang air terjun Tassimbung dengan pelanginya. Atau tentang nikahan salah satu mantan siswa yang saya lewatkan.



Pertama kali ke sini lagi, sejak hampir dua tahun lalu, saya sedikit asing dengan Desa Tassese.
Desa yang dulu jadi tujuan utama kami, para volunteer PILAR, ketika galau atau butuh sedikit tenang jadi asing. Masih di sekitar lereng bukit, daerah ini semakin gersang. Meski akhir-akhir ini saya sering lupa banyak hal, tapi hijau di Tassese tidak pernah hilang dari memori. Dan sekarang, semoga hijau itu tidak menjadi sesuatu yang langka di Tassese.



Ketika menapak jalan di sekitar Bendungan Bili-Bili’, kak Randy, salah satu kawan volunteer PILAR, cerita banyak tentang wajah Tassese sekarang. “Banyak sekarang warga membangun, tham. Hampir semua renovasi rumah jadi rumah batu.” Awalnya, saya pikir itu hanya candaan baru kawan-kawan PILAR, ternyata..



Masuk Desa Mannuju, desa yang terletak sebelum Desa Tassese, saya ditunjukkan sebuah rumah batu kokoh yang megah. Modelnya klasik-tradisional dengan halaman yang luas. Seperti melihat rumah dinas gubernur Sulawesi Selatan, hanya saja dengan bentuk rumah panggung. Namun, tetap terbuat dari bata dan beberapa beton kokoh. Ternyata itu rumah Kepala Desa Tassese.



Jalan beberapa km lagi, batas Desa Tassese sudah menyambut. Ada yang baru, jembatan yang tadinya tersusun dari beberapa batang pohon kelapa sudah berubah rupa jadi jembatan beton. Maaf. Butuh beberapa tahun untuk menyebutnya kokoh. Berhubung, di banyak desa lain, kasus jembatan yang dibangun dengan mengejar hasil fisik dari sebuah proyek biasanya rentan, meskipun sudah tampak kokoh.



Saat masuk ke pusat beberapa dusun di Tassese, saya jadi ingat topik yang menjadi bahan cerita kami sepanjang perjalanan. Ternyata memang benar. Jari tangan saya sudah tidak cukup untuk menghitung jumlah rumah yang sudah berubah bentuk. Ada cukup banyak rumah yang direnovasi. Perubahannya pun tidak setengah-setengah. Jadi rumah batu dengan warna-warna mencolok dan model yang cukup keren. Bahkan lebih wah dari beberapa model rumah di Kota Makassar. Yang paling mencolok, saya lihat sebuah rumah yang tengah dalam pengerjaan. Rumah ini juga sedang direnovasi. Bedanya, dinding rumah ini dihiasi oleh relief-relief berbentuk pepohonan, batang-batangan, dan beberapa kembang yang dibuat dari ukiran semen.



Jika ditinjau lebih jauh, dari bahan baku batu bata, semen, pekerja-pekerja bangunan, dan jarak tempuh yang mesti dilalui truk-truk pengangkut untuk pengerjaan rumah di puncak bukit dekat Bawakaraeng (Desa Tassese) , ini bukan hal yang murah. Dan faktanya, tidak sedikit kepala keluarga yang melakukan perubahan seperti ini. Entah dari hasil panen, warisan, atau tunjangan yang berlebih, tapi perubahan ini sudah cukup menggambarkan kalau beberapa keluarga di Desa Tassese sepertinya sudah sejahtera.



Itu hanya beberapa. Justru karena perubahan yang cukup mencolok di beberapa rumah. Kesenjangan itu semakin nampak. Ada sebuah rumah batu baru yang bersebelahan dengan rumah panggung dengan susunan kayu yang hampir lapuk. Pilar penopangnya pun sudah hampir lari dari pijakannya. Apalagi ketika setiap rumah itu sudah dilengkapi pagar tinggi untuk mengatasi sapi-sapi warga yang masih banyak berkeliaran bebas mencari rerumputan. Untuk membayangkan saja saya tidak tega.



Kesenjangan fisik itu tentu akan berdampak langsung pada kesenjangan sosial. Desa ini kaya akan anak-anak hebat. Entah bagaimana kalau anak-anak ini tumbuh dengan kesenjangan yang tidak disadarinya. Perbedaan kemampuan antara satu hal dengan yang lainnya menjadi pemandangannya sehari-hari. Untungnya, mereka masih tumbuh di desa. Surga alam yang tumbuh dan tengah bertahan. Setidaknya masih ada bantuan untuk meredam bagi mereka yang tengah mengenal diri dan asal.



Secara fisik, Tassese memang mengalami kemajuan pembangunan di beberapa sudut. Kemajuan yang seringkali menjadi kebanggaan desa dan individu yang mengalaminya. Namun, entah kenapa. Hampir dua tahun, dengan semangat, saya dan beberapa teman berjalan ke SATAP Tassese. Sekolah dimana semangat PILAR tumbuh.



Wajah Baru Tassese, dengan rumah-rumah batu yang indah dan kokoh, tapi kenapa siswa tetap saja menghabiskan waktu bercengkrama dan bermain bola saat jam pelajaran?



Tassese memang sedikit berubah, tapi tidak dengan pendidikannya. Semangat mengajar para guru dan informasi penerimaan tenaga honorer di sekolah yang sangat membutuhkan guru ini masih kalah oleh “alam” dan “sistem”.




- Nur Utami -
3 April 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar