Selasa, 27 Maret 2012

CERITA DI BALIK CINDEA

Desa Tassese Kec. Manuju Kab. Gowa adalah salah satu daerah yang dikuasai oleh pasukan Kahar Muzakkar yang dipimpin oleh Kahar Muang, Kahar Muzakkar sendiri mempunyai cita-cita mendirikan Negara islam dan Tassese salah satu daerah didalamya diterapkan hukum syariat islam.


Yang memimpin pemerintahan di desa Tassese Kec. Manuju Kab. Gowa, adalah salah satu prajurit Kahar Muzakkar yang bernama Kahar Muang. Kahar Muang masuk ke Desa Tassese sekitar tahun 50-an dan keluar dari Tassese sekitar tahun 1962, namun sebenarnya ini masih kontroversi, karena ada yang mengatakan kalau Kahar Muang memerintah selama 9 tahun sementara ada pula salah satu prajurit Kahar Muang yang bernama Dg. Colleng yang mengatakan bahwa selama pemerintahan Kahar Muang di Tassese ia menjadi prajurit selama 19 tahun.


Kahar Muang bersama prajuritnya yang waktu itu berjumlah 11 orang karena bertemu dengan salah satu warga Tassese yang bernama Dg. Colleng di Balla’ Lompoa. Dg. Colleng pun membawa masuk Kahar Muang dan para pasukannya ke Tassese, sesampai di Desa Tassese ia langsung memegang pemerintahan di Tassese karena saat itu Tassese tak dipegang oleh pemerintah siapapun, termasuk terbebas dari pemerintahan ke-Karaengan.



Para prajurit Kahar Muang sendiri sebagian besar dari luar seperti Bone, Takalar, Moncong Baling (Kec. Bajeng Kab. Gowa). Adapun prajurit dari dalam hanyalah sebagian kecil saja salah satunya adalah Dg. Colleng, beliau dipilih oleh Kahar Muang sebagai pengawal istimewa karena Dg. Colleng kuat dalam bertempur. Dg. Colleng  pernah ikut berperan di Luwu selama 7 hari 7 malam dan hanya makan pisang.
Pada masa pemerintahan Kahar Muang, pernah diterapkan hukuman tembak mati. Hukuman tembak mati ini diberlakukan oleh para pembunuh, pezina dan pencuri, bahkan mata-mata dan dan semua para penentang pemerintah. Para penentang pemerintah itu  sudah termasuk mereka yang membunuh, pezina, dan pencuri, karena mereka yang tidak mengikuti aturan-aturan yang dikeluarkan Kahar Muang.


Kahar Muang juga mengumumkan bahwa orang-orang yang membawa sesajen ke Benteng Sipappa akan ditembak mati pula dan dibuang di Cindea tanpa dikuburkan makanya masyarakat takut ke Benteng Sippapa sejak masa pemerintahan Kahar Muang, kalaupun itu ada mereka pergi secara sembunyi-sembunyi dan biasanya mereka pergi di malam hari tanpa diketahui oleh Kahar Muang, dan mereka berhasil sembunyi-sembunyi dari Kahar Muang karena selama masa pemerintahan Kahar Muang tak satupun orang-orang yang ditembak mati dan dibuang di Cindea dengan alasan membawa sesajen ke Benteng Sipappa. Bukan hanya masyarakat yang sembunyi-sembunyi ke Benteng Sipappa namun para perajurit Kahar Muang sendiri yang mempercayai kekuatan dari Benteng Sipappa, juga ikut sembunyi-sembunyi ke Benteng Sipappa untuk meminta agar diberi spirit dalam pertempuran dan tak satupun juga perajuritnya diketahui oleh Kahar Muang.


Awalnya informasi yang pertama yang saya dapat, bahwa orang yang tidak shalat akan dibuang ke Cindea, dan alasan ini yang membuat saya dan Hasnia Syam tertarik untuk meneliti cerita dibalik Cindea, namun setelah saya dan Hasnia menelitinya dengan mewawancarai berbagai informan yaitu kepala dusun yang bernama Tata Dg. Naba, Karaeng Lalang/ Dg. Ajji, yang dulunya sebagai kepala desa pertama di Tassese, kakek Mettere yang dulunya sebagai hansip sekaligus iman dusun sejak Kareng Lalang jadi kepala desa, dan Dg. Colleng sebagai pengawal istimewa dari Kahar Muang, adapun para pendududk yang kami wawancarai mengenai cerita Cindea sebagian besar mereka mengaku kalau mereka kurang tau tentang cerita Cindea.


Cindea adalah nama jurang yang sangat terjal, kira-kira kedalamanya sekitar 100 meter ke bawah, letaknya berada di belakang kantor kepala desa Tassese yang sekarang sampai di belakang rumah penduduk yang bernama Dg. Sawaria. Dulunya hutan ini sangat lebat dan ditumbuhi pepohonan tinggi, di hutan ini dulu banyak hewan babi dan tak ada satu rumah penduduk pun di jurang itu. Dan pada masa pemerintahan Kahar Muang, jurang Cindea ini dijadikan tempat pembuangan mayat bagi para orang-orang yang membunuh, pezina, dan pencuri.


Melihat jurang cindea yang begitu terjal dan hutan yang begitu lebat  serta banyak hewan babi yang hidup dalam hutan itu, membuat kahar muang berinisiatif menjadikan jurang cindea sebagai tempat pembuangan mayat. Alasan Kahar Muang melakukan hukuman tembak mati dan membuang mayat ke jurang Cindea tanpa dikuburkan adalah agar masyarakat benar-benar sadar dan tau kalau kesalahan itu adalah sebuah kesalahan yang tak semestinya mereka lakukan dan ternyata saat hukuman itu di berlakukan masyarakat Tassese pun takut untuk berzina, mencuri, dan membunuh, Kahar Muang ternyata berhasil menerapkan hukuman itu, dan hukuman itu hanya berlangsung selama 2 tahun.


Adapun asumsi pertama yang kami dapat mengenai orang yang tidak shalat akan ditembak mati dan dibuang di jurang Cindea, ternyata informasi itu kurang tepat karena ternyata orang yang tidak shalat memang mendapat hukuman tapi bukan hukuman tembak mati dan pembuangan di jurang Cindea. Orang yang tidak shalat biasnya diajari tentang tata cara shalat dan berbagai ajaran-ajaran agama islam termasuk baca Al-Qur’an. Orang yang tidak shalat biasanya diketahui karena orang-orang yang tidak pergi shalat subuh di mesjid Kamase-mase (mesjid pertama di Tassese) maka mereka itulah yang dianggap tidak akan mengerjakan shalat selama sehari semalam, karena bagi Kahar Muang orang yang sudah shalat subuh berarti akan gampang untuk mengerjakan shalat yang lainnya. Orang–orang yang tidak datang ke mesjid Kamase-mase untuk shalat akan gampang diketahui karena dulunya penduduk desa itu tidak begitu banyak.


Sedangkan bagi para pembunuh, pencuri, pezinah, mereka itulah yang kan ditembak mati dan dibuang di jurang Cindea tanpa dikuburkan. Adapun pengeksekutor Cindea adalah salah satunya adalah penduduk asli Tassese yang bernama Dg. Colleng ( pengawal istemewa Kahar Muang), namun sebagian besar pengeksekutor itu berasal dari luar diantaranya Bone, Takalar, Moncobalang ( kec. Bajeng kab. gowa), sedangkan korbannya yang masih sempat diingat oleh Dg. Colleng adalah Parekkeng dan Bo’deng dan kesalahan mereka adalah menentang pemerintah Kahar Muang ia juga dikenal sebagai momoc (pasukan liar), ia pernah membakar rumah di Tassese, Kili kesalahannya adalah merampok, Bangki kesalahannya berzina, Nyarang kesalahannya juga berzina, Tayang kesalahannya juga berzina.


Adapun peroses penghukumannya adalah jika ia seorang mata-mata maka mereka akan langsung ditembak mati tanpa diadili terlebih dahulu, dan mayatnya akan dikembalikan pada keluarganya dan tidak dibuang ke jurang Cindea. Pernah ada salah satu mata-mata ketahuan, ia dicurigai karena ia sering meninggalkan Tassese dan ia selalu ke kota, dan setelah ia diikuti moleh pasukan Kahar Muang, ternyata mata-mata inilah yang melaporkan tentang keberadaan Kahar Muang di desa Tassese serta berbagai kegiatan- kegiatan Kahar Muang yang dilakukannya di Tassese, saaat ia kedapatan di kota para pasukan tidak langsung menangkapnya tapi ia membiarkannya kembali ke Tassese dan setelah ia ada di Tassese Ia pun ditanyai oleh Dg. Colleng “ apa yang kau sering lakukan di kota sehingga selalu  kesana? ”, awalnya orang ini tidak mau mengaku  namun karena Dg. Colleng terus mendesaknya makaya mata-mata ini tak bisa lagi mengelak, ia pun mengakui kesalahannya. Dan begitu ia mengaku Dg. Colleng langsung mengambil senjatanya dan berkata “kau penghianat dan sekarang tak pantas lagi untuk hidup di sini ”, peluru itupun tertancap masuk ke kepala orang itu.


Pernah juga ada satu peristiwa di bulan ramadhan, salah satu rumah penduduk didapati asap tepat di belakang rumahnya di siang hari, sementara Dg. Colleng bersama perajuritnya sedang lewat di depan rumah itu dan melihat asap itu yang menandakan adanya orang yang sedang memasak di rumah itu, karena dahulu orang menggunakan kayu bakar untuk memasak sehingga asapnya akan kentara jika kita sedang memasak. Dg. Colleng beserta yang lainnya pun menghampiri rumah itu dan mencari tau apakah ada orang yang tidak berpuasa di rumah itu sehingga mereka memasak di siang hari, namun sebelum ia naik ke rumah panggung itu Ia mengeluarkan suaranya yang agak keras sambil menembakkan senjatanya ke arah atas lalu Ia pun segera naik ke rumah dan berkata pada penghuni rumah itu “ kenapa saya melihat ada asap di belakang, apa kau sedang memasak ?”, orang itu berkata “ iyya saya sedang masak “, Dg. Colleng berkata “apa kalian tidak berpuasa?“, karena orang ini telah kedapatan makanya Ia tak bisa berbohong “ iyya saya tidak puasa karena saya tak tahan lapar “, Dg. Colleng pun memberinya hukuman namun bukan hukuman tembak mati.


Sedangkan para pezina, pencuri dan pembunuh, mereka akan diadili terlebih dahulu sebelum ditembak mati, tapi jika mereka tertangkap basah maka mereka akan langsung ditembak di tempat itu juga, dan dibuang di jurang Cindea, namun jika mereka hanya dilaporkan oleh warga maka mereka akan dibawa ke pengadilan yang berada di Pulombangkkeng, apabila mereka mengaku maka akan di bawa ke Cindea untuk dieksekusi, dan yang bertugas untuk mengeksekusi adalah Dg. Colleng, apabila mereka akan ditembak maka mereka akan disuruh untuk berdiri di tepi jurang Cindea. Salah satu hal yang paling lucu bagi Dg. Colleng yaitu ketika Ia ingin mengeksekusi salah satu dari korban, Ia terjun lebih dulu ke jurang Cindea, saat itu Dg. Colleng berkata dengan bahasa makassarnya yang begitu kental sebelum menembaknya “sebutkan permintaan terakhirmu karena sekarang kau sudah berada di depan senjataku dan sebentar lagi berada di bawah jurang ini”, korban lalu berkata dengan dialeg makassarnya juga “aku lebih pilih terjun ke jurang daripada harus merasakan sakit dua kali”, dan Ia pun benar-benar langsung terjun sebelum ditembak, saat menceritakan peristiwa ini, Dg. Colleng tertawa  terbahak-bahak sambil batuk-batuk, ia kelihatan susah untuk mengatur tawa dan batuknya, baginya ini adalah peristiwa yang paling lucu selama ia bertugas jadi eksekutor.


Orang yang tidak mengakui kesalahannya dan tidak pula ada bukti yang cukup kuat maka mereka akan dibebaskan. Pada masa pemerintahan Kahar Muang ajaran yang diterapkan adalah hukum syariat islam, Ia berusaha menjadikan desa Tassese sebagai daerah islam sehingga hukuman-hukuman yang diterapkan cukup ekstrim.


Sebelum Kahar Muang dan perajuritnya masuk ke Tassese, dulunya desa Tassese adalah sebuah desa yang yang sangat kental dengan kepercayaan animisme dan dinamisme, dan salah satu kepercayaan penduduk yang paling kuat adalah Benteng Sipappa. Menurut para penduduk setempat Benteng Sipappa adalah sebuah rumah yang unik karena hanya memiliki satu tiang sementara mempunyai 7 petak dan dua sampingan, dan rumah ini adalah rumah Karaeng Tadatara, ia adalah karaeng pertama di desa Tassese dan dia yang memberi nama pada jurang Cindea, dan jauh sebelum masuknya Kahar Muang dan pasukannya Di Desa Tassese.


Rumah inilah yang biasa ditempati para penduduk untuk meminta sesuatu yang dibutuhkan dan masih berlaku sampai sekarang namun sudah berkurang. Namun setelah Kahar Muang dan para tentaranya masuk ke Tassese ia berusaha untuk menghilangkan kepercayaan-kepercayaan seperti itu dan mengumumkan bahwa barang siapa yang membawa sesajen ke Benteng Sipappa akan dihukum tembak mati dan dibuang ke jurang Cindea tanpa dikuburkan. Karena melihat masyarakat desa Tassese sangat kurang pemahamnnya tentang ajaran agama islam, Kahar Muang akhirnya mengajarkan mereka tentang islam, dan yang dia terapkan adalah syariat islam. Ajaran-ajaran kahar muang ini cukup berhasil dalam membimbing masyarakat mengenai ajaran-ajaran islam, dan saat itu para penduduk mulai rajin shalat, mengaji, berzakat, dan perbuatan zina dan mencuri adalah kesalahan yang paling mereka takuti untuk dilakukan.


- Herlinda Saning -
19 April 2010

1 komentar:

  1. "dan saat itu para penduduk mulai rajin shalat, mengaji, berzakat, dan perbuatan zina dan mencuri adalah kesalahan yang paling mereka takuti untuk dilakukan."

    Bagaimana dengan kondisi sekarang?

    BalasHapus