Senin, 19 Maret 2012

Kisah Tiga Pedagang di Tassese

Kisah Pedagang Sapi, Pedagang Organ Anak dan Pedagang Organ Alam 


RAHMAT, murid kelas IX di SMP Satap Negeri Tassese, pendiam. Sepintas orang-orang akan menganggapnya pelit. Hanya senyum yang biasa dia berikan. Bukan kalimat panjang, apalagi cerita.



Pagi, sebelum berangkat ke sekolah, Rahmat telah lenyap dari rumah untuk mencari rumput pakan sapi kesayangan. Menyusuri pematang berbukit dengan sebilah sabit dan karung berlipat di kedua tangannya. Jika kesulitan mendapatkan rumput saat pagi, biasanya Rahmat terlambat pergi ke sekolah. Padahal jarak dari rumah ke sekolahnya hanya 50 meter saja. Dalam sehari biasanya Rahmat harus menyediakan dua sampai tiga karung rumput, untuk 7 ekor sapi. Satu karung saat pagi dan satu karung sepulang sekolah atau sore.

Sapi Rahmat harusnya sudah berjumlah sembilan ekor. Dia menjualnya dua ekor dua tahun lalu. Kemudian induk sapi melahirkan lagi dua ekor tahun 2010. Sehingga jumlahnya tidak berkurang dan tidak bertambah, tetap tujuh ekor sapi dengan ukuran yang beragam.

Sudah dua tahun terakhir, penduduk semakin gemar memelihara sapi. Tentunya sapi memberikan keuntungan yang cukup besar. Dengan memelihara sapi, mereka bisa menjadikannya infestasi dan membiayai kebutuhan lain bagi keluarga, seperti pendidikan, untuk membeli kendaraan (sepeda motor) dan untuk acara-acara syukuran (pernikahan, khitan, akikah dan lain-lain).

Ini dimulai oleh seorang pengusaha yang juga purnawirawan kepolisian, Yusuf Manggabarani yang mengajak masyarakat untuk memelihara sapi. Yusuf membagikan dua ekor sapi kepada penduduk untuk dipelihara. Sebagai imbalannya, dia akan mendapatkan satu ekor sapi dari dua ekor sapi yang telah diternak oleh penduduk. Dengan antusias penduduk kemudian menyepakatinya dan mulai memelihara sapi yang dibantukan oleh Yusuf. Sebuah aktifitas yang kini juga dilakoni oleh Rahmat.

***

Sekelompok anak mengendap-endap mendekat. Punggung menunduk. Bukan hanya tidak ingin terlihat, juga buat mereka mudah menjangkau batu di tanah. Semuanya bersiap melempar sasaran yang duduk di teras kantor desa sore itu. Sasaran yang mereka anggap setan pemotong kepala, pemakan jantung, penyongkel hati!

Orang yang duduk di teras kantor desa adalah aku. Aku yang sedang asik mencari signal handphone karena di tempat inilah biasanya penduduk menghubungi kerabat mereka. Tempat yang paling banyat terdapat signal. Letaknya sangat tinggi sehingga dari sini bisa melihat pemandangan yang luas ke arah bawah. Melihat genangan air yang ditahan oleh bendungan bili-bili, bedengan-bedengan kebun dan sawah, beberapa kelompok pohon yang semakin sedikit jumlahnya, juga aliran jalan berkelok-kelok yang kerap aku lewati. Tempat yang mempertemukanku dengan kabar burung si setan pembunuh anak-anak.

“oh, kak Agung pade’. Hampir... Kami kira setang i...”, terengah-engah mendekatiku. Aku terkejut, begitu juga sekelompok anak yang mengira akulah setan pembunuh itu. kemudian mereka mulai menceritakan kejadian yang hampir saja membuatku celaka. Menurut mereka, korbannya sudah banyak walaupun belum ada korban di desa Tassese. Sampai 300 anak! Tentu aku tidak menerima begitu saja informasi tersebut, kemudian bergegas pergi menuju rumah Rizal, teman sekelas Rahmat yang tidak masuk sekolah tadi pagi.

***

Beberapa minggu lalu, mungkin sudah sebulan ini menyebar cepat kabar burung pembunuhan seorang anak. Pelaku memenggal kepalanya, mengambil organ kemudian membuang mayatnya. Bagi Rizal ini sudah menjadi hal yang biasa. Setiap tahun selalu ada kabar seperti itu. Tapi korbannya tidak sebanyak yang dikabarkan anak-anak di kantor desa. Hanya satu orang saja.


Kecurigaan Rizal, pelaku dibayar untuk melakukan itu. organ yang didapatkan kemudian dijual kepada pemesannya. Aku langsung membayangkan kasus-kasus perdagangan organ anak di sebuah tayangan film berjudul... tapi, apa mungkin kasus seperti ini sudah sampai di tempat sedamai ini? Setidaknya itu menurut pengalamanku selama lebih setahun yang kerap berkunjung ke desa ini.

***

Sebuah truk Hino dengan bak kayu menepi di depan rumah Rizal. Orang-orang di rumah ini kemudian menjadi sibuk dengan kedatangannya. Tidak terkecuali ibu Rizal yang berpamitan kepdaku dan bergegas membuntuti tuk tersebut.


“Saya tinggal dulu de’ nah, ada kayu mau diambilkan di belakang...”, memeberi alasan kemudian lenyap dari pandanganku menuju belakang rumah.


Tidak lama, Rizal menemaniku di teras rumah panggungnya. Akupun mulai menanyai apa hubungan truk yang baru datang dengan kayu-kayu yang ibunya maksud. “Itu truk milik polisi kak. Biasa datang untuk ambil kayu.” Rizal memulai ceritanya.


Aku teringat pembicaraanku dengan Pak Lawang, guru Rizal di sekolah yang juga adalah omnya Rahmat. Menurut pak Lawang, kondisi desa sudah berubah, tidak seperti dulu lagi. Sekarang semakin banyak penebangan hutan. Kalau dulu, aparat masih memiliki niat baik untuk menjaga agar tidak ada penebangan hutan. Namun sekarang, bagaimana jika aparatnya adalah salah satu dari pedagang kayu.


Hal ini banyak disesalkan oleh pak Lawang. Harusnya aparat menjaga hutan agar tidak terjadi penebangan lagi. Tetapi kini justru merekalah yang melakukannya dan semakin mudah warga menebang karena yang membeli kayu-kayu adalah aparat.

***

MEGA, guru SD di Desa Bilalang. Guru yang sering aku kunjungi sepulang dari desa Tassese. Membagikan buku-buku bacaan untuknya dan beberapa guru yang sering berkumpul di rumahnya. Berdiskusi dengan mereka, bercerita banyak hal tentang pendidikan.

Aku pun menceritakan mengenai kabar burung penjualan organ anak. Menurutnya cerita tersebut memang sering kerap diproduksi oleh orang-orang tua untuk menakut-nakuti anaknya. Supaya anak-anak mereka tidak bermain terlalu jauh. Mungkin supaya mudah memerintahkan mereka untuk pulang atau membantu tugas-tugas di rumah. Biasanya juga, kabar burung ini muncul saat musim tanam akan tiba. Agar anak-anak tidak bermain ke tempat yang jauh, direproduksilah berita ini untuk menakut-nakuti mereka. Yah, kalau mereka hanya bermain di sekitar desa maka akan mudah meminta anak-anak untuk membantu orang tua di sawah yang akan ditanami.

Namun, bagaimana dengan cerita aparat pembalak hutan? Tentu cerita penjualan organ anak tidak sama denga cerita penjualan kayu. Kisah penjualan kayu sangat nyata! Kisah sekelompok orang yang mengambil organ alam untuk keuntungan pribadi.


Tetapi, kenapa cerita penjualan organ alam ini tidak seheboh cerita penjualan organ anak? Apakah penjualan organ alam ini tidak sesadis penjualan organ anak?

***

KETIGA pedagang ini tentu ingin melajutkan hidup mereka, sama seperti induk kucing yang kini coba bertahan hidup di tempat tinggalku. Berteduh di sebagian atapku tanpa izin, berbagi kain kotor—yang biasa kugunakan untuk membersihkan kotoran di lantai dapur—bersama tiga anaknya, memakan sisa nasi dan sepotong kepala ikan dari tong sampah yang tergeletak. Aku tidak yakin dia juga menikmati musik yang kuputar keras saat pagi, atau lagu sepi saat malam. Beberapa pukulan telak di tubuhnya kerap diterima ketika mencoba mencuri sedikit makanan yang sebenarnya tidak ingin kumakan.

Seandainya saja bahasaku sama seperti kucing itu, mungkin aku bisa mendengar harapannya, tangisannya, candaannya bahkan permintaannya. Aku salah paham! Salah untuk mengerti usaha-usahanya bertahan hidup.

Untuk seandainya lagi! Kucing itu bisa berdagang. Apa dia akan menjual sampah makanan yang dia temukan di tong sampahku, cemilan hasil curian semalam dari atas meja kerja yang aku tinggalkan saat tertidur atau menjual ketiga anaknya yang kurus dengan kotoran menumpuk di mata-mata mereka? Apa dia membutuhkan modal? Sebuah truk? Bagaimana dengan warung? Bagaimana dengan sebuah pasar? Perlu lisensi? Apa dia punya pangkat agar barang dagangannya lebih aman? Usaha lain untuk sampingan?

Kini aku katakan, ‘jual lah semua yang kau miliki! Untuk hidupmu, tentu saja.


-Agung Prabowo-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar