Senin, 19 Maret 2012

Lubang Nippon

Sebelumnya telah kuceritakan tentang Pahlawan Ayam, dan mengapa istilah tersebut lahir. Walaupun masih ada beberapa pembaca yang menyangkal objek sebenarnya. Dalam tulisan ini akan menceritakan tentang sejarah orang biasa. Mungkin akan dibahas terlebih dahulu apa ide besar sejarah orang biasa yang dimaksud. Sejarah orang biasa telah populer di Indonesia, jauh sebelum aku mengenalnya lewat tulisan Bambang Purwanto, seorang dosen sejarah “biasa” di UGM. Menurutnya, sejarah bangsa ini selain ditulis oleh dominasi laki-laki, juga militer. Militer disini pun ditentukan lagi siapa yang pantas untuk dituliskan dalam sejarahnya, baik peristiwa, aktor, maupun ideologi yang menjadi pondasi sejarah tersebut. Peristiwanya yah pasti tentang kejadian luar biasa seperti perang, kudeta berdarah, pemilu, dan peristiwa sosial politik besar lainnya. Kemudian peristiwa tersebut harus berhubungan dengan aktor terkenal, tokoh nasional, pemimpin perang, para jenderal dan tokoh besar lainnya, tidak dengan orang-orang kecil
seperti petani, guru, murid dan lain-lain. Peristiwa yang dijadikan sejarah selanjutnya dibingkai dalam sebuah nilai untuk menanamkan kepercayaan mendalam, agar seluruh pembaca sejarah patuh pada pembuat sejarah. Semboyannya pasti, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai penguasa (penulis sejarah tunggal) dan sejarah tunggalnya”. Seperti inilah gambaran sejarah Indonesia dituliskan saat rezim militer kuat.

Mari kita telaah lebih “nakal”. Sejak sekolah, buku sejarah harus dicetak massal dan seragam dibawah kontrol Jaksa Agung. Sejarah yang bertentangan dengan kepentingan penguasa dilarang beredar dan jika ketahuan akan dibakar. Jadi tidak ada sejarah alternatif. Tidak heran jika sebagian besar buku-buku Pramodya Ananta Tour lebih banyak di pemanggangan api daripada di perpustakan. Mungkin karena Pramudya bukan penguasa dan tidak ikut perang melawan PKI saat itu. Aku juga tertarik dengan tulisan Nurhady Sirimorok di media elektronik Panyingkul. Dia berpendapat sejarah Indonesi lebih didominasi oleh peristiwa-peristiwa kejayaan pertempuran, dimana militer adalah pahlawan besarnya. Kemudian menanyakan dengan sangat kritis tentang, bagimana posisi pekerja medis dan tukang masak yang sebagian besar adalah perempuan dalam sejarah tersebut? Kenapa nama mereka tidak turut menghiasi kegemerlapan kemenangan perang merebut kemerdekaan? Apakah perang bisa dimenangkan jika tentara-tentara itu kelaparan? Siapa yang merawat mereka saat terluka? Mengapa kesaksian mereka tidak dijadikan sebagai referensi sejarah yang kelak akan dibaca oleh anak cucunya? Kalau kuantitas jenis kelamin laki-laki dalam daftar pahlawan nasional, tidak perlu dibahas lagi, sudah jelas siapa yang menulis sejarah ini. Setelah tahu, apa yang harus kita lakukan?

Sejarah penguasa dapat membangun kepercayaan di kepala khalayak bukan hanya karena penguasa semakin kuat, tetapi sipil yang semkin lemah untuk menghadirkan sejarahnya dalam versi lain. Kemampuan menuliskan sejarah orang biasa oleh orang biasa bukanlah bakat atau keahlian khusus. Ketekunan menelorkan wacana alternatif kepada khalayak adalah amunisi yang baik untuk melawan dominasi tersebut. Mulailah dengan mengumpulkan serpihan-serpihan cerita masyarakat, misalnya yang paling dekat, nenek, mbah atau datuk. Kemudian nenek tetangga dan seterusnya, dengan merujuk waktu masa hidup mereka. Sejarah lisan adalah salah satu tools yang dapat digunakan. Dengan model ini, kita dapat mendengar pengalaman sejarah orang biasa dari tangan kedua pengalaman, misalnya orang tuanya nenek kita. Jika nenek kita lahir tahun 1940-an, maka kita dapat mendengar kejadian tahun 1920-an dari nenek kita. Terbayang tidak mendengar sejarah tempat kita dahulu, di tahun 1920-an, padahal rencana reproduksi ari-ari nenek kita pun belum ada. Lebih teknisnya, suruh saja nenek cerita, kemudian direkam dan buat transkripsi wawancaranya. Setelah itu, tuliskan dan jangan lupa kolaborasi dengan buku bacaan yang tidak perlu rumit untuk dimengerti. Perlu aku ingatkan, bahwa tulisan ini bukan sedang membahas teknik penelitian, hanya ingin memberi gambaran tentang sejarah orang biasa, yang ditulis sebagai counter wacana dominan penguasa.

Baiklah, akan kumulai ceritanya dengan pagi ini. Umur pagi jika dibandingkan dengan umurku, jelas aku jauh lebih muda. Hanya saja, para guru dari Universitas Indonesia Timur dan aku sempat menjadi tua karena menunggu pemandu jalan. Yah, pemandu ini punya tugas baru, yakni mengambil bantuan bahan pangan untuk kami selama di desa Tassese, sumbangan dari organisasi pedagang pasar Terong, SADAR (Persaudaraan Pedagang Pasar Terong). Seperti biasa, perjalanan dimulai dengan saling menunggu, terutama saat pengisian bahan bakar kendaraan. Konsekuensi keterlmbatan berangkat adalah berkurangnya waktu mengajar guru-guru ini di SMPN 3 Tassese. Sekolah ini memiliki tiga kelas, dan belum memiliki alumni seorangpun. Wajar saja, karena sekolah ini baru ada setelah menerima hutang luar negeri dari tetangganya tahun 2007 lalu. Murid-murid memang telah menikmati gedung yang layak, bahkan sangat indah untuk ukuran “sekolah kampung” (maaf menggunakan istilah “sekolah kampung”, karena sangat sulit mendapatkan padanannya saat penulisan), namun tidak dengan gurunya. Itulah alasan perjalanan kami ke Tassese.

Dua minggu lalu, Pahlawan Ayam begitu terkejut merasakan jauhnya perjalanan murid-murid untuk menduduki kursi santainya di sekolah. Pahlawan Ayam berserta Peri Pengetahuan mengikuti murid-murid menuju perjalanan pulang untuk merasakan langsung semangatnya. Berbeda dengan hari ini, kami yang dijanjikan akan mencoba merasakan semangat dari perjalanan guru menuju sekolah. Kini, giliran rumah Ibu Sartika menjadi tujuannya. Aku, pahlawan ayam dan empat orang guru tahu bahwa langit telah sangat gelap. Sesaat lagi hujan pasti akan turun. Keinginan melihat Lubang (penamaan untuk sebuah gua buatan manusia oleh penduduk setempat) adalah dorongan paling kuat untuk mengindahkan mendung. Walhasil, belum sampai setengah perjalanan, kami harus basah oleh hujan, tanpa ada satupun tempat berteduh di sepanjangnya. Kami belum saling mengenal sebelumnya, kecuali aku dan Pahlawan Ayam. Di sepnjang perjalnan itulah kami mulai mengenal. Baiklah, akan aku perkenalkan satu persatu guru-guru ini.

Guru pertama aku namakan saja Al Mubarokah. Dia adalah seorang perempuan berambut ikal, dengan bandol separuh – sebenarnya telah rusak karena patah, bukan bentuk sebenarnya yang separuh – yang digunakan untuk menahan kerapihan rambutnya. Ada tiga hal yang kuketahui sebelumnya dari dia. Pertama, niatnya untuk ikut kerena prihatin mendengar kondisi sekolah melalui seorang teman. Kedua adalah namanya. Aku tahu namanya dua hari sebelum keberangkatan. Dan yang terakhir adalah, dia mudah terkejut seraya mengucapkan apa saja diluar kendali (latah). Al Mubarokah adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Di sangat suka perjalanan yang melibatkan indranya secara langsung, terutama indra penglihatan. Ini bisa dilihat dari kesigapannya saat sesi pemotretan bersama, bahkan sendiri sekalipun. Yang paling mencolok dari perempuan ini adalah kata “Sumpah” yang kerap hadir ketika dia berusaha meyakinkan lawan bicaranya.

Guru kedua adalah teman lama Al Mubarokah, Al Ikhlas. Dia adalah laki-laki bertubuh mungil (dia suka dengan penggunaan mungil daripada kecil karena terdengar lebih manis) dengan rambut depan yang kerap menutupi sebagin tengkorak depan kepala. Al Ikhlas adalah teman kecil Al Mubarokh sejak mereka diimunisasi oleh orang tua mereka. Aku menyaksikan begitu hati-hatinya Al Ikhlas menjaga Al Mubarokah selama perjalanan. Pengawasan yang begitu ketat, hingga aku begitu yakin mereka benar-benar telah berteman sejak kecil. Pertama kali melihat dia, ke-diam-an adalah konsep yang melekat pada Al Ikhlas, namun tidak setelah mengenalnya lebih jauh. Dia adalah laki-laki yang cerewet, dengan banyak koleksi lelucon yang mencairkan suasana kaku kami selama perjalanan.

Guru ketiga bernama Al Akshom. Ibunya adalah seorang bidan. Dia berasal dari sebuah desa terpencil di Pinrang, desa Ulu Saddang. Tubuhnya cukup ideal dengan tinggi normal untuk laki-laki dewasa. Aku pernah kedesanya di Pinrang beberapa bulan lalu. Di sekolah desanya juga mengalami nasib yang hampir sama dengan yang terjadi pada sekolah di Tassese. Dia memilih untuk keluar dari desa Ulu Saddang bersama orang tuanya setelah menetap selama lima tahun disana. Tidak banyak yang aku ketahui dari sikap diamnya. Tapi tetap saja diam itu harus bersaing dengan bahasa non verbalnya saat sesi pemotretan.

Guru keempat adalah Baiturrahman. Jika pernah sekali melihatnya, pertemuan kedua pasti bisa langsung membedakannya dari tiga guru sebelumnya. Kata kuncinya adalah “Rambut”. Rambutnya begitu khas, karena ikal rambutnya dibiarkan tergerai ke atas (tanpa sedikitpun bermaksud mendiskreditkan fisik). Dari rambut inilah kemudian Baiturrahmn sangat disukai oleh murid-murid kelas II. Suatu kali seorang murid bernyanyi dengan melafazkan namanya dengn merdu. Murid tersebut tidak sabar untuk diajar olehnya, saat dia sedang menyampaikan materinya di kelas III. Dengan suara serek-serek, menambah ketampanan Baiturahman di mata dan hati murid-murid kelas II.

Seperti diceritakan di awal, hujan menyertai perjalanan kami menuju rumah ibu Sartika. Hutan begitu rimbun dengan semak, karena sejak beberapa minggu lalu musim hujan membasahi hutan. Jalan yang licin menggesek serat-serat alas kaki kami. Lumpur dengan mudah menempeli permukaan alas kaki, sehingga langkah kami diperberat olehnya. Penujuk separuh jalan kami adalah Pahlawan Ayam. Kemudian digantikan oleh seorang petani yang kami temui di tengah perjalanan. Petani itu bersama istri dan anaknya sedang mencangkuli sawah yang mulai becek oleh hujan. Pahlawan Ayam digantikan oleh petani itu, karena Pahlawan Ayam lupa jalan menuju rumah Ibu Sartika. Setelah menempuh perjalanan panjang menyusuri hutan liar, kami beristirahat sejenak sambil mendengarkan arahan ibu Sartika tentang Lubang yang akan kami datangi. Kemudian kami dibuatkan obor dari sebatang bambu kecil berisikan minyak tanah, dengan sumbu dari serabut kelapa. Katanya, kami memerlukan ini untuk masuk kedalam Lubang, karena disana sangat gelap. Tidak jarang, kami akan menemukan beberapa jenis binatang berbahaya seperti ular, babi hutan dan binatang lainnya.

Lubang terletak di puncak bukit yang tinggi. Jika berdiri di atas sana, maka nampak kota Makassar dan pantai Losari oleh mata. Setelah sekejap menikmati pemandangan dari ketinggian, kami memasuki bagian inti perjalanan, menelusuri gelapnya Lubang. Menurut Pak Lawang, Lubang merupkan tempat persembunyian bagi pemberontak DI/TII dari kejaran tentara pemerintah. Namun Lubang ini telah ada sejak masuknya tentara Dai Nippon Jepang. Mereka membuat banyak Lubang di Tassese untuk menahan serangan sekutu pada masa Perang Dunia II yang berakhir dengan kekalahan Jepang setelah dua kota utamanya dihancurkan oleh sekutu dengan Bom Atom. Namun hanya beberapa yang masih tersisa, karena tidak mmpu lagi menahan serapan air hujan. Lorong di dalamnya saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya. Selain gelap, yang pertama kami temui saat masuk adalah segerombolan burung walet (yang awalnya aku kira itu kelelawar) berhamburan keluar karena merasa terganggu oleh kehadiran kami. Dua orang anak-anak yang menyertai perjalanan kami menuju lubang, begitu riang mengusir burung-burung dengan ranting pohon, sementara dua anak yang lebih besar lainnya tetap terjaga mengawasi keselamatan kami.

Tentu saja Jepang menempatkan Lubang pertahnannya di Tassese, karena letaknya yang tinggi, sehingga mudah dalam mengawasi pergerakan musuh. Bukan hanya jepang, DI/TII pun turut memanfaatkan ketinggian dalam bertahan sekaligus memantau musuh-musuhnya. Aku bisa membayangkannya saat berada di dalam salah satu mulut Lubang – tempat meletakkn senapan mesin – begitu srategisnya letak bukit ini sebagai tempat pertahanan saat perang. Sekarang, Lubang ini bukan lagi tempat bertahan atau berlindung, karena perang telah berakhir. Sekarang telah disulap oleh anak-anak Tassese sebagai tempat bermain mereka.

Pak Ruddin kemudian mempertegas pernyataan pak Lawang terkait asal mula adanya Lubang ini. “Itu Lubang tentara Nipong kami menyebutnya, karena dulu orang tua saya bercerita seperti itu”, ucap pak Ruddin dengan dialek Makassarnya. Inilah serpihan sejarah besar Tassese yang tidak sempat dituliskan oleh penguasa, karena Tassese bagi penguasa bukanlah tempat penting seperti ibu kota. Tetapi bagi pak Ruddin dan masyarakat Tassese lainnya, Tassese adalah tanah kelahiran mereka yang dianggap tidak kalah pentingnya dari ibu kota.

Sepulang dari Lubang, kami disambut dengan hidangan istimewa oleh ibu Sartika dan secangkir teh dan kopi hangat. Setelah cukup istirahat, kami kembali ke rumah pak Ruddin, karena besok harus kembali mengajar. Sasaran utama setelah tiba adalah mencuci pakaian basah kami, karena sebagian dari kami tidak membawa persediaan pakaian yang cukup.

Seperti hari-hari awal para guru (volunteers) mengajar, murid-murid tetap bersemangat mengikuti pelajaran. Para gurupun sejak awal telah menyiapkan pembagian kerja, siapa yang mengjar di kelas I, siapa di kelas II dan siapa di kelas III. Saat jam istirahat, beberapa murid menawarkan kepada kami untuk mengunjungi air terun yang ada di Tassese sebelum kami pulang sore ini. setelah makan siang, mereka langsung mendatangi tempat istirahat kami, seolah tangan-tangan ini ditarik lembut untuk segera berkemas mengikuti mereka ke tempat kesayangan. Air terjun adalah pertemuan penutup perjalnan minggu ini, dan segera menyempatkan untuk berfoto bersama dengan anak-anak murid. Al Ikhlas telah duduk di atas kendaraannya sambil berucap, “Tidak sabar menunggu minggu depan. Pokoknya harus kembali ketempat ini!” seiring laju kendaraan kami meningglkan Tassese.

-Agung Prabowo-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar