Senin, 19 Maret 2012

Hijau Di Tassese

15 Maret 2010
Fix You, salah satu lagu coldplay, masih setia mengalun menemani kebersamaanku dengan asse, siti, idha, dan budi, anak-anak tassese, di minggu pagi yang cerah ini. Kami duduk santai di belakang masjid, di atas batu besar, dengan pemandangan hamparan pegunungan, lembah, yang dihiasi hijau pohon yang beragam juga sengkedan warga setempat. Di tengah-tengah hamparan hijau pegunungan, ada siluet putih kecil. Saat kutanya apa itu, mereka bilang air terjun. Indah.


Sekarang sudah pukul satu siang. Sejenak kubayangkan, kalau aku tengah dikota, jelas perasaan gerah dan panas yang akan kurasa. Namun, disini sama sekali tidak. Sejuk. Sangat sejuk. Terik matahari terkalahkan oleh rindang pohon mangga yang melindungiku. suara jangkrik dan beriak pohon bambu ramah menemaniku. Seperti tidak rela melihatku sendiri di siang ini.

Ketenangan ini seakan buatku lupa sejenak tentang kesibukan disana. Beberapa ratus kilo dari sini, hamparan ruko dan gedung-gedung tinggi, juga lalu lalang kendaraan bermotor menghiasi kota dengan kesibukan mereka masing-masing.

Desa Tassese, beberapa orang yakin, desa ini dinamakan Tassese, karena memang wilayahnya yang tersisih. Letaknya diujung kecamatan Manuju, Kabupaten Gowa. Kita perlu melewati dua gunung dulu dengan rute yang cukup menantang. Untung saja kini jalanannya sudah di Aspal. Beberapa temanku sempat merasakan susahnya melalui rute jalanan tanah yang belum diaspal ke desa ini.

Minggu terakhir aku kesini, di depan rumah Pak Rudy, rumah yang sering jadi tempat tinggal kami di Tassese, ada sebuah rumah dengan pohon rambutan yang tengah berbuah sangat lebat. Waktu itu, buahnya masih jingga. Kata Pak Rudy, masih butuh beberapa hari lagi untuk masak dan berwarna merah bata. Aku dan teman-temanku berharap, semoga saat kembali lagi kesini, kita bisa memetiknya langsung dan memakannya rame-rame dengan anak-anak Tassese'.

Ternyata, saat kembali ke sini, rumah yang kumaksud tadi tengah dibongkar. Rumah kayu yang masih tegak berdiri tadi tengah dipugar jadi rumah batu. Pohon rambutannya pun telah ditebang. Mungkin rumah itu rumah batu pertama di desa ini. Tidak menutup kemungkinan, keluarga-keluarga lain akan mengikuti jejak sipemilik rumah tadi. mendirikan rumah batu juga. Ada juga hal lain yang baru saat kesini lagi. Telah dibangun kantor desa di salah satu bukit di desa ini. Bangunannya batu dengan konsep minimalis. Cukup modern untuk desa yang wilayahnya cukup terpencil seperti ini. Saat masuk ke dapur Pak Rudi, dengan niat ingin membantu menyiapkan makan malam, kulihat sebuah lemari kaca. Baru. Ibu membelinya disalah satu toko di kota beberapa hari yang lalu.

Belum satu tahun jalan aspal masuk di desa ini. Sudah banyak budaya modern kota yang diadopsi masyarakat setempat. Tidak salah sih, cuma jika tidak disaring dengan baik, bisa saja jadi korban baru hegemoni peradaban kini dan budaya konsumerisme sebagai dampak globalisasi.
Hamparan pegunungan hijau didepanku, beriak bambu, jangkrik, dan air terjun tadi menitipkan sebuah harapan padaku, pada kita semua untuk menjaganya. Semoga mereka tidak seperti apa yang pernah terjadi disana. Beratus-ratus kilometer dari Tassese. Hamparan hijau yang telah berubah wajah jadi pusat kawasan industri.

Hijau di Tassese, semoga tidak sedang menghitung waktu. Waktu-waktu terakhirnya untuk mendengar anak-anak Tassese bermain kata.

-Nur Utaminingsih-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar