Senin, 19 Maret 2012

Tuan Takur dan Tanah Adat Tassese (2)

Sangat sulit jika ingin mendapatkan tanah lapang yang datar, karena sebagian besar permukaan di Tassese berbentuk bukit-bukit terjal dengan hiasan terasering berbanjar kebawah. Sebagai alasnya, nampak hamparan sawah berair coklat yang siap ditanami. Pilihan Karina untuk lebih banyak di rumah pak Ruddin saat istirahat daripada meng-iya-kan ajakan Pahlawan Ayam, kerena harus menapak tukikkan terjal bukit-bukit Tassese. Sebagai gantinya, Pahlawan Ayam tidak bisa mengatakan “tidak” untuk ajakan menyusuri warung-warung jajanan di Tassese. Ini hiburan baru rombonganku.


Karina adalah volunteers kesebelas yang memilih untuk terlibat dalam mengobati keresahan anak-anak di Tassese. Seperti di ceritakan di awal, Karina suka jika mahluk di sekitarnya mendengar nyanyiannya. Karina dengan beban tubuh yang cukup membuatnya merasa sesak saat berjalan (Maaf aku membanggakan kebesaranmu. Aku hanya ingin mengatakan, “gadis besar, kalian begitu indah!”), lebih suka menempuh jarak yang pendek untuk menikmati jajanan, atau menggunakan kendaraan untuk menuju tempat-tempat kesayangan. Kalaupun harus menempuh jarak yang panjang dengan menyusuri gumpalan tanah menukik, Hanihani harus bersetia mendampingi perjalanannya.

Paragraf di atas untuk Karina yang merasa sedikit rendah karena tulisan pertama. Dengan segala hormat aku ingin mengatakan, bentuk nyata fisik bukanlah sebuah kekurangan hanya karena bentuk yang berbeda dari iklan kecantikan manusia di tv. Kau indah Karina, besar dan indah..

Sekolah tempat Karina mengajar terletak di atas tanah datar yang cukup luas. Mungkin tanah ini satu-satunya tanah datar yang aku temui di Tassese. Sebelum Maret 2007, tanah ini merupakan tanah milik pribadi, sebelum akhirnya tanah ini diambil alih oleh Karaeng Lalang untuk diubah statusnya menjadi Tanah Adat. Karaeng Lalang menukarkan tanahnya yang ada di perbukitan untuk mendapatkan tanah datar tersebut, kemudian menyerahkannya kepada Komite Pembangunan Sekolah untuk dibangun SMP dan tambahan gedung SD Negeri Tassese. Dengan sisa kekuasaan yang ada pada karaeng Lalang karena pernah menjabat sebagai kepala desa di Manuju (Ibu kota kecamatan), tanah yang awalnya milik pribadi dapat dijadikan sebagai Tanah Adat olehnya. Kini tanah datar yang luas tersebut telah menjadi milik seluruh warga desa Tassese.

Di desa Tassese dikenal adanya Tanah Adat, yakni tanah yang tidak dimiliki secara pribadi, namun dikelola oleh pemimpin secara turun temurun. Tanah adat biasanya digunakan untuk lahan pertanian. Hasil dari pertaniannya akan digunakan untuk menjamu tamu-tamu penting (maksudnya dari kalangan pemerintah) dan tamu-tamu dari luar yang datang berkunjung. Atau jika ada acara yang dilakukan oleh warga, bila memungkinkan, maka pemimpin desa akan menyumbangkan hasil pertanian dari tanah adat tersebut kepada warga. Misalnya menyumbangkan 15 liter beras untuk acara pernikahan si A, atau menyumbangkan beberapa sisir buah pisang dalam acara rapat desa. Walaupun tanah adat dikelola secara turun temurun oleh pemimpin di Tassese, namun tanah tersebut tidak dapat dimiliki secara pribadi.

Ada dua jenis Tanah Adat ini yang pertama adalah Tanah Gallarang, dan yang kedua adalah Tanah Sareang. Status sosial seseorang sebenarnya telah mengangkat status sosial orang-orang disekitarnya, bahkan rumah dan tanahnya. Ini bisa dilihat dimana kedua jenis tanah di atas memiliki kelas sosial mengikuti pengelolanya. Tanah Gallarang kelasnya lebih tinggi dan lebih luas jika dibandingkan tanah Sareang. kata “Gallarang” adalah kata untuk menunjuk pada pemimpin pemerintahan di masyarakat (sekarang setingkat Kepala Desa). Tanah Gallarang di Tassese luasnya sekitar satu sampai dengan dua hektar. Perbandingan Tanah Gallarag satu banding seperempat dari Tanah Sareang. Tanah Gallarang lebih luas mengikuti tingkatan sosial pengelolanya. Tanah Sareang lebih kecil kerena pengelolanya memiliki tingkat dalam pemerintahan lebih rendah, yakni Sareang (sekarang setingkat kepala Dusun).

“Tanah Adat bukan milik perorangan, tetapi diserahkan turun temurun kepada pemimpin berikutnya untuk dikelola”, kepala Dusun mencoba menegaskan fungsi Tanah adat. hasil dari tanah Adat pun tidak semata-mata digunakan untuk kepentingan pribadi pimpinan pemerintahan.

***

Jika melihat tekstur tanah serta ketinggiannya, desa Tassese harusnya bisa menanam sayur-sayuran di tanahnya. Namun sangat sulit mendapatkan lahan yang memendam akar-akar sayur. Bahkan sebagian besar penduduk lebih memilih untuk membeli sayur di pasar Bili-bili untuk dikonsumsi, bukan menanamnya sendiri. Pernah bercerita seorang teman dari Tombolo Pao tentang asal mula komoditas sayur pertama kali mulai digemari sebagai tanaman pertanian masyarakat. Menurutnya, awalnya disana sangat mirip di desa Tassese, dimana tanaman sayur kurang populer untuk ditanami. Hingga akhirnya datang seorang insinyur pertanian dari pulau Jawa yang mengajak masyarakat untuk menanam lebih banyak jenis sayur dan buah. Sekarang kita dapat merasakan Tombolo sebagai penghasil sayur-sayuran. Namun kata kuncinya bagi Tassese bukanlah “penghasil”, cukup mandiri dari ketergantungan mengkonsumsi sayur dari luar Tassese. Hasilkan sendiri untuk dinikmati secara mandiri, tanpa harus bergantung pada kota.

Tanah merupakan harta paling berharga bagi sebagian besar masyarakat Tassese. Luas tanah yang dimiliki tiap masyarakat pun beragam, ada yang luas tanahnya cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga, ada pula yang tanahnya sangat luas seperti Tuan Takur dalam Film Hindi. Karaeng Lalang misalnya, sebagai perintis di Tassese, dia memiliki tanah yang lebih luas jika dibandingkan dengan masyarakat lain. Namun keluasan tanah turut melapangkan kearifan pula untuk saling memberi. Dengan sukarela, karaeng Lalang menukarkan tanahnya untuk dijadikan tanah adat dalam pembangunan sekolah. Kini sekolah bisa dinikmati oleh seluruh masyarakat Tassese hingga sekarang.

-Agung Prabowo-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar