Senin, 19 Maret 2012

Kehidupan Bernama Tassese

6 Desember 2009
Tassese-- Tidak ada yang meminta dilahirkan di tempat dan waktu yang mereka ingini. Begitu pula dengan sang legendaries sebesar Taupiq Ismail atau Bung Karno, yang punya garis hidup terkenal dan dipuja. Atau orang-orang yang memang sudah hidup dengan segala kemewahan dan kecukupannya. Meski kehidupan sapa pun punya caranya sendiri.


Anak-anak pedalaman pun tidak membayangkan apalagi mencita-citakan hidup serba keterbatasan. Meski aku yakin bahwa tanpa harapan pun sebenarnya mereka telah hidup , jauh lebih matang dan dalam. Bukan berarti pula tidak memiliki apa pun maka mereka tidak layak apalagi jika disebut tidak beradab. Paling tidak mereka bisa merasakan nikmatnya menjadi manusia tanpa istilah pepsi atau coca cola, mal atau butik, high heels atau kosmetik. Mereka punya menitnya sendiri, menjelajahi bumi dan mensyukuri sekedarnya.

Hari minggu itu, demi menemukan hal baru yang kian lama tidak bisa saya nikmati. Saya sepakat untuk mempercayakan keselamatan saya kepada tiga orang laki-laki,yang punya empati. Hujan sempat membasahi tanah yang sudah lelah mengering, meski waktu seolah meminta langit untuk memberi kesempatan pada kami memulai perjalanan bersejarah itu.

Menarik, indah dan sulit menemukannya. Wajah dunia pedalaman memang masih penuh ketentraman dan sejuta cabang untuk ditemukan. Siang mulai bergeser , sore yang menghadirkan pelangi tepat di kaki langit. Menawan sekali. Angin tidak kuat menahan rasa geli untuk menemui kami di tempat baru bernama, desa Tasesse. Bukan Tenneesse di Amerika, bukan pula tempat yang menarik perhatian pelancong yang suka berkeliling untuk wisata kuliner kelas dunia. Hanya sebuah desa berjarak puluhan kilometer dari kota Makassar. Daerah pegunungan di mana kehidupan masyarakatnya tak mampu digambarkan bahkan pada kertas novel atau bahkan film sekalipun juga.

Masyakaratnya sangat ramah, penuh perhatian dan punya kehidupan. Mereka bukan patung atau mesin yang diciptakan dan berguna tetapi nilainya hanya diukur dengan uang dan koin semata. Mereka mampu membangun jerami yang rapuh menjadi kearifan lokal yang membumi,tanah mereka dihuni bukan dengan tembok beton dan jeruji kemewahan, tetapi perjuangan bertahan dengan keterbatasan akses dan sinyal handphone yang seakan dibutuhkan melebihi nasi dan nafas kehidupan.

Bertemu masyarakat dan berbaur bersama , mengajar anak-anak SMP lokal meski belum pernah mengenyam pendidikan keguruan. Sangat menggugah dan menyenangkan.

Tassesse, tempat itu telah menaungi saya, menciptakan perasaan sensitive yang paling jarang saya temukan, menawarkan sebuah pengabdian dan kesyukuran akan dunia yang saya miliki seharusnya. Ingin sekali segera bisa menggapai mimpi agar langit tetap bening dan anak-anak Tassesse atau pun anak-anak pedalaman lainnya bisa merasakan hak yang dimiliki anak-anak lain di kota. Karena kenyataannya, tak ada seorang pun yang meminta untuk dilahirkan di tempat dan waktu yang mereka ingini. Mereka tidak memilih untuk itu dan bagusnya karena alasan itu, Tuhan memberi nilai lebih bagi mereka yang mensyukuri. Anak-anak yang diterangi kuasa langit. Anak-anak yang kuat dan luar biasa sekali.

Kami akan kembali , agenda masih berlanjut esok hari, bersama lagi dalam perjalanan sekaligus pencarian akan makna bermanfaat. Semoga perjalanan dua jam itu akan bisa memberi semangat yang lain. Melihat sesuatu dibalik tiap kilometer jalan kehidupan yang sejati.

-Farah Bachtiar -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar