Desa Tassese terletak di salah satu
bukit kabupaten Gowa, kecamatan Manuju. Hamparan sawah, gunung, hutan dan
sungai akan ditemui di desa ini, udara segar (bebas polusi) dan lingkungan yang
bersahabat akan menjadi jaminan ketika berkunjung ke desa ini. Jarak tempuh desa
ini dari kota Makassar menghabiskan waktu selama dua jam perjalanan dengan
mengendarai mobil. Desa Tassese memiliki luas wilayah 9,7 Km2 dengan luas lahan pertanian (sawah) 267 Ha. Jumlah penduduk desa
Tassese 1.767 jiwa terdiri atas 481 kepala keluarga. 99,7% penduduk Tassese
adalah petani dan 0,3% sisanya berpropesi sebagai Pegawai Negri Sipil (PNS).
Petani Tassese masing-masing memiliki lahan sendiri, namun tidak memiliki luas
lahan yang sama, dalam satu kepala keluarga memiliki luas lahan minimal ½ Ha.
Jissa (ibu angkat saya) seorang petani Tassese merupakan perempuan
pekerja keras. Seorang ibu sekaligus ayah bagi kedua putranya (Rahmat dan
Ramli). Suaminya (Maharuddin) meninggal
10 tahun yang lalu pada saat Rahmat berusia 5 tahun dan Ramli berusia 7 bulan.
Sepeninggal suaminya, Jissa harus menghidupi kedua putranya dengan bertani,
mengusahakan atau mengerjakan sendiri
sawahnya seluas 1 ½ Ha. Untuk menyelesaikan pekerjaan yang berat
(membajak sawah, panen, dan mengangkat hasil panen dari sawah ke rumah)
Jissa tertolong oleh semangat gotong royong yang dimiliki oleh warga. Dari masa
penanaman sampai panen selama 4 bulan Jissa tiap harinya berangkat ke sawah
dengan melewati perjalanan ± 2 Km. Rutinitas ini harus dijalani Jissa untuk
menjaga padinya dari hama penyerang. Kera atau Dare’ (Bahasa Makassar) menganggu
tanaman padi pada pagi hari sampai pada sore hari jika tidak dijaga pemiliknya.
Kondisi perekonomian penduduk Tassese’ sebagian besar masih memprihatinkan,
hasil yang mereka peroleh dari pertanian kadang tidak mencukupi kebutuhan
sehari-hari. Dengan kondisi seperti ini Jissa harus mengurangi pengeluaran untuk
menjaga kelangsungan hidupnya bersama kedua putranya. Untungnya Rahmat dan
Ramli memperoleh pendidikan gratis di desa ini yang merupakan program
pemerintah untuk menyelamatkan anak bangsa.
Pertanian
ini adalah pekerjaan yang paling utama di desa ini sekaligus menjadi sumber
kehidupan dan perekonomian penduduk dari zaman dahulu (nenek moyang) untuk
menjaga kelangsungan hidup mereka. Hama penganggu tanaman padi,
ditangani secara tradisional dengan menggunakan tangkai kayu yang diyakini
dapat menangkal hama penganggu tanaman padi. Hama penganggu tanaman padi yaitu kera (dare’) babi hutan (bawi), tikus (balao), ulat daun (cambulu-bulu), ulat batang (lipang) dan
sejenisnya. Cara tradisional untuk menangani hama dilakukan karena yakin dapat membantu dan setelah menggunakannya ternyata berhasil maka
warga tetap menggunakan itu kemudian mengajarkannya kepada keturunan mereka. Cara tradisional menangani hama padi pada umumnya dikuasai oleh
perempuan karena merekalah yang merawat tanaman padi setelah penanaman sampai
panen. Setiap hama pengganggu tanaman padi cara penanganan tradisional
berbeda-beda. Berikut ini gambaran atau penjelasan cara penanganan tiap-tiap
hama.
a. Kera (Dare’)
Kera atau dare’ menganggu tanaman
padi mulai dari masa penanaman sampai pada padi siap di panen. Padi yang baru
di anam akan dicabut atau diijak-injak dare' jika tidak dijaga pemiliknya,
ketika padi sudah berbuah dare' ini mulai mengganggu lagi dengan mencabut dan
memakan buah padi. Selain dijaga, cara lain yang digunakan oleh para petani untuk
menjaga tanaman padi dari gangguan hama dare' adalah melakukan gotong royong
untuk memassal (memburu) dare' dengan menggunakan tombak dan anjing. Ada juga cara
lain yang diguankan tanpa dijaga atau dimassal yaitu membuat jebakan yang
terbuat dari kayu yang menyerupai kandang dengan menaruh umpan yang sangat
digemari dare' yaitu pisang, jebakan
tersebut hanya bertahan atau penggunaanya hanya beberapa tahun saja dan dare' pun tahu dan tidak bisa dijebak lagi, namun para petani tidak kehabisan akal setelah mengetahui bahwa ada racun yang bisa mematikan dare' tanpa
dijebak atau dimassal dengan menggunakan pisang lalu memasukkan racun
kedalamnya. Cara ini hanya bertahan sekitar tahun 90-an karena sudah banyak
ternak, pisang yang menggunakan racun tidak hanya dare' yang memakannya tetap
juga ternak penduduk. Namun cara lain seperti menjaga padi dan memburu secara
massal masih bertahan sampai sekarang.
b. Babi Hutan (bawi)
Babi hutan atau bawi (Bahasa Makassar) menganggu
tanaman padi penduduk setelah padi berbuah dan mulai berisi. Babi merusak padi
dan memakan buahnya, yang dapat menimbulkan kerugian besar ketika tidak
ditangani. Ada beberapa cara tradisional yang digunakan untuk menangani hama
babi :
1. Menggunakan bessi-bessikang, dengan
memasang bessi-bessikang pada pematang sawah maka hama babi mulai takut untuk
mendekati, namun jika babi sudah biasa mendapat perlakuan seperti itu babi
tersebut tidak takut lagi (masih di gunakan sampai sekarang).
2. Penggunaan ulambi’, dengan
menggunakan ulambi’ yang digantungkan pada pematang sawah yang digantungi baju
bekas, plastik, atau karung yang diolesi sabun atau oli dapat membantu petani
untuk menjaga padi dari gangguan hama padi, bauh yang menyengat (sabun atau oli) serta gerakan kain, plastik yang digantung dapat menakuti babi untuk mendekat
(masih digunakan).
3. Gerseng longga (kallambau’), gerseng
longga (kallambau’) dibakar sampai mengeluarkan bau yang menyengat kemudian
digantungkan atau diletakkan pada sudut-sudut sawah agar babi hutan tidak
mendekat karena bau yang dihasilkan oleh gerseng longga bakar. Penggunaan
gerseng longga ini hanya bertahan selama
dua hari kemudian diganti lagi (masih digunakan sekarang).
4. Penggunaan tangkai kayu yang dianggap
dan dipercayai dapat membantu menjaga tanaman padi dari serangan hama babi. Jenis kayunya yakni :
Pakupalili
dan seta, dipercayai dapat mengalihkan babi ke tempat lain dan tidak menuju ke
tanaman padi milik petani yang menggunakannya.
Mali-mali’,
dipercayai dengan menggunakan mali-mali’ babi hutan akan memiliki rasa sayang
pada tanaman padi sehingga tidak merusak tanaman padi tersebut.
Leko' Inruk (daun aren) , dipercayai dapat mengalihkan babi ke tempat lain karena
daun inruk muda dapat memancarkan atau silau ketika mata babi tertuju pada daun
tersebut. Penggunaan pakupalili, mali-mali, seta dan leko' inruk digunakan
dengan cara menancapkan pada bagian yang
telah dimakan atau dirusak oleh
babi hutan agar tidak dirusak ulang. Penggunaan ini tidak dilakukan sebelum
babi merusak padi dan hanya berlaku pada tanaman padi tidak pada tanaman lain
seperti palawija dan tanaman perkebunan
lainnya. Penggunaan cara tradisional ini masih digunakan sampai sekarang.
5. Dimassal, cara penanganan hama babi
ini dilakukan secra bergotong royong dengan melibatkan banyak warga serta
menggunaka tombak dan anjing untuk membantu
memburu dan menangkap hama babi. Cara ini masih digunakan sampai
sekarang.
6. Memasang racun pada umpan (talas,ubi,
pisang dll ), cara ini digunakan untuk mematikan babi, namun cara yang
digunakan ini tidak berlangsung karena banyak ternak yang juga memakan umpan.
Cara ini hanya bertahan samapi padatahun 90-an.
7. Memasang jebakan, para petani
memasang jebakan dengan cara memasang tali pada jalan yang biasa dilalui oleh babi berupa tali yang
bias menangkap babi pada saat tali tersebut terinjak. Selain itu jebakan yang
bisa digunakan yaitu membuat lubang
kemudian memasang bamboo runcing pada lubang tersebut sehingga pada saat babi
jatuh ke dalam maka akan tertusuk oleh
bamboo terebut (sudah tidak digunakan lagi)
c. Hama Tikus (Balao)
Hama tikus merusak tanaman padi pada
usia muda dan memakan buahnya setelah berbuah. Cara petani mengatasi hama ini
dengan menggunakan jebakan untuk menangkap tikus yang terbuat dari kayu yang menyerupai kayu namun cara ini
tidak berlangsung lama digunakan karena dianggap tidak episien dan beralih
keracun tikus, racun tikus tidak terlalu berbahaya pada ternak penduduk (sapi,
kuda dan kerbau). Sampai sekarang ini cara yang digunakan adalah menggunakan
racun dengan menggunakan umpan beras yang dicampur racu tikus atau kepiting
kecil yang dimatikan kemudian menaruh racun tikus pada kepiting tersebut.
d. Hama lainnya ( ulat, ulat batang,
walang sangit dan semut merah ).
Cara tradisional yang digunakan petani untuk menangani hama padi
tersebut dengan menggunakan leko' tattang olo’. Jenis hama padi ini menganggu
tanaman padi pada pertumbuhan sampai
padi mulai berbuah. leko' tattang olo’ dipercayai dapat mengusir hama jenis ini
secara perlahan-lahan dan akhirnya menghilang pada tanaman padi. Cara
tradisional ini masih digunakan sampai sekarang. Selain mempertahankan dan
menerapkan pengetahuan yang diwariskan oleh nenek moyang juga untuk mengurangi
biaya yang digunakan untuk merawat tanaman padi.
Cara-cara tradisional seperti penanganan hama kera dan babi yang tidak mematikan ternak, masih tetap dipertahankan
dan digunkan sampai sekarang begitupun
pada penanganan kelompok hama lainnya namun tidak semua penduduk atau petani
tassese’ menggunkannya karena beberapa daerah (sawah petani) tidak diganggu
oleh hama babi atau kera karena jauh dari hutan akan tetapi daerah (sawah)
petani yang ada di dekat hutan masih menggunakan cara tersebut. Karena
kurang atau tidak diserang oleh hama
babi dan kera maka banyak penduduk yang tidak memperhatikan lagi serta tidak
tahu cara penanganan hama traisional tersebut.
Selain itu dengan adanya penyuluhan pertanian serta pengetahuan para
petani tentang penanganan hama praktis (penggunaan pestisida) masyarakat
lebih cenderung menggunakan pestisida
untuk memberantas hama tetapi petani yang tidak memiliki uang yang cukup
membeli pestisida masih tetap menggunakan cara tradisional. Informasi dari
hasil penelitian saya ini saya peroleh dari ibu angkat saya (Jissa)
seorang petani (35 tahun), Abbas Situru (37 tahun) Sekdes Tassese’, Dg.
Sonrong (45 tahun) petani, Karaeng Tutu (60 tahun), Rahmad (Siswa SLTP), Indar Sallang (35 tahun ) petani Tassese’, dan Dg.
Juma’(50 tahun) petani Tassese’.
-Yosep Rantesalu-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar