Selalu saja refleksi menghadirkan tanda tanya. Ia kemudian membuat
kita mengkanalisasi pertanyaan yang lahir menjadi kepulan-kepulan
rencana. Jika malam selalu diidentikkan dengan refleksi, dan siang
adalah aksi dan gairahnya, kaum urban hari ini bisa jadi adalah orang
yang terlalu cinta akan gairah. Sehingga terkadang luput akan sebuah
refleksi atas tindakan-tindakan yang mereka lakukan.
Jauh dari kebisingan jalan, amarah dan keramahan transaksional,
sebuah desa di Kabupaten Gowa menghadirkan begitu banyak ruang refleksi
maupun gairah. Desa ini bernama Tassese. Desa yang bangunan-bangunannya
begitu tertata dengan rapih, sehingga mengingatkan kita dengan siaran
berita malam TVRI yang mengabarkan panen raya di desa-desa Jawa hasil
produk Panca Usaha Tani kerumah kita.
Sentralisasi pembangunan berakibat pada keseragaman bentuk, bukan
hanya cara berpikir tetapi juga pada bentuk bangunan infrastruktur
Pemerintah. Hal yang sama juga ditemukan di desa ini. Sebuah sekolah
SATAP (Satu Atap) yang dana pembangunannya diperolah dari kerjasama
Pemerintah Australia dan Indonesia, tidak luput dari keseragaman
Pembangunan yang terpusat. Pembangunan yang membuat masyarakatnya
berlari meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lama yang dianggap kuno.
Di lapangan sekolah yang kini tak lagi digunakan untuk upacara
bendera, beberapa ternak penduduk masuk kedalam pekarangan sekolah.
Diantaranya beberapa ekor kuda yang dengan santainya melahap rumput
lapangan. Yah, kepala sekolah tidak perlu lagi repot-repot
untuk memangkas rumput dengan mesin pemotong, seperti penduduk lain
didesa yang menggunakan gergaji mesin untuk menebang pohon. Suara
gergaji mesin memang sudah akrab saya dengar setelah hampir sebulan
mengunjungi desa ini. Beruntung lapangan masih digunakan oleh anak-anak
sekolah sebagai tempat bermain disaat jam istirahat mereka.

Orang-orang di desa ini sepertinya sudah begitu bersahabat dengan
mesin. Tak heran jika kuda-kuda peliharaan mereka tumbuh terlihat gemuk
dan pendek. Mirip seekor keledai. Otot-otot kaki ternak tidak lagi
dimanfaatkan untuk berlari sebagai tunggangan manusia yang tergantikan
oleh sepeda motor, namun hanya sebagai pengangkut gabah yang juga
sebentar lagi akan tersingkirkan oleh mesin pengangkut gabah.
Keramaian dan keheningan juga sering ditemukan di sekolah ini.
Hening, ketika para siswa yang mungkin sedang konsentrasi mendengar
penjelasan guru, atau juga dikarenakan pikiran mereka ada di sebuah
tempat terbuka di luar kelas. Di kelas lain tepat berada disebelah
mereka, suasana lebih ramai. Ternyata karena tidak adanya guru. Rupanya
kelas harus mengantri giliran kunjungan guru mereka, dikarenakan
keterbatasan jumlah guru tetap yang dimiliki sekolah.
Letih karena harus berkeliling dari kelas tidak akan keluar dari
lisan guru-guru mereka. Mereka sudah terbiasa. Sejak sekolah ini
dibangun pada tahun 2007, satu-persatu guru-guru harus terseleksi oleh
“alam”. Yang tersisa hanya empat orang guru tetap, yang juga berprofesi
sebagai petani di Desa ini. Berkeliling beberapa meter di atas ubin,
tentunya tidak seletih memotong rumput untuk pakan ternak dan mencabut
tanaman pengganggu di sawah mereka.
Di tepi lapangan, selain bangunan kelas juga terdapat empat deretan
rumah yang dibangun sebagai tempat tinggal para guru. Tiga diantaranya
kosong dan terlihat sudah lama tidak dihuni. Hanya satu rumah yang
ditinggali oleh seorang nenek penjual jajanan bagi anak-anak sekolah.
Di sekolah ini tidak terdapat kantin yang menyajikan makanan sehat
yang telah distandarisasi untuk dikonsumsi oleh anak sekolah. Hanya ada
nenek yang menjual jajanan yang mengandung MSG atau roti tawar yang
diolesi susu kental coklat. Ia juga menyiapkan air minum di dalam
Jirigen plastik yang disiapkan secara cuma-cuma.
Sepertinya Si nenek tidak sadar bahwa apa yang Ia tawarkan ke
anak-anak sekolah bisa melemahkan daya kerja otak anak. Namun, kita
tidak boleh menghakimi ketidaktahuan nenek yang mencari nafkah untuk
hidup seorang diri dirumah itu. Bukankah pemerintah sudah menetapkan
standar? Atau standarisasi yang mereka maksud hanyalah
bongkahan-bongkahan fisik yang temboknya dicat putih dan beratap merah?
Atau standarisasi ujian nasional yang nyata-nyata tidak sesuai dengan
kebutuhan desa?
Diakhir tulisan ini, kepulan asap tembakau belum juga mengkanalisasi
ide menjadi sebuah rencana yang akan saya bawa kedepannya. Tanda tanya
yang begitu banyak dipikiran hanya membuat saya marah kepada sebuah
sistem yang memaksa kita untuk men-formalisasi segala ruang dikehidupan
kita, termasuk pendidikan. Mungkin saya harus lebih banyak menemukan
gairah yang lahir di Desa ini. Karena refleksi hanya hadir dari sebuah
gairah yang kita rasakan dimasa lalu. Bukan hari ini.
-Ibnul Hayat-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar