Senin, 26 Maret 2012

Kepulan Tanya dari Tassese

Selalu saja refleksi menghadirkan tanda tanya. Ia kemudian membuat kita mengkanalisasi pertanyaan yang lahir menjadi kepulan-kepulan rencana. Jika malam selalu diidentikkan dengan refleksi, dan siang adalah aksi dan gairahnya, kaum urban hari ini bisa jadi adalah orang yang terlalu cinta akan gairah. Sehingga terkadang luput akan sebuah refleksi atas tindakan-tindakan yang mereka lakukan.

Jauh dari kebisingan jalan, amarah dan keramahan transaksional, sebuah desa di Kabupaten Gowa menghadirkan begitu banyak ruang refleksi maupun gairah. Desa ini bernama Tassese. Desa yang bangunan-bangunannya begitu tertata dengan rapih, sehingga mengingatkan kita dengan siaran berita malam TVRI yang mengabarkan panen raya di desa-desa Jawa hasil produk Panca Usaha Tani kerumah kita.


Sentralisasi pembangunan berakibat pada keseragaman bentuk, bukan hanya cara berpikir tetapi juga pada bentuk bangunan infrastruktur Pemerintah. Hal yang sama juga ditemukan di desa ini. Sebuah sekolah SATAP (Satu Atap) yang dana pembangunannya diperolah dari kerjasama Pemerintah Australia dan Indonesia, tidak luput dari keseragaman Pembangunan yang terpusat. Pembangunan yang membuat masyarakatnya berlari meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lama yang dianggap kuno.

Di lapangan sekolah yang kini tak lagi digunakan untuk upacara bendera, beberapa ternak penduduk masuk kedalam pekarangan sekolah. Diantaranya beberapa ekor kuda yang dengan santainya melahap rumput lapangan. Yah, kepala sekolah tidak perlu lagi repot-repot untuk memangkas rumput dengan mesin pemotong, seperti penduduk lain didesa yang menggunakan gergaji mesin untuk menebang pohon. Suara gergaji mesin memang sudah akrab saya dengar setelah hampir sebulan mengunjungi desa ini. Beruntung lapangan masih digunakan oleh anak-anak sekolah sebagai tempat bermain disaat jam istirahat  mereka.

Image

Orang-orang di desa ini sepertinya sudah begitu bersahabat dengan mesin. Tak heran jika kuda-kuda peliharaan mereka tumbuh terlihat gemuk dan pendek. Mirip seekor keledai. Otot-otot kaki ternak tidak lagi  dimanfaatkan untuk berlari sebagai tunggangan manusia yang tergantikan oleh sepeda motor, namun hanya sebagai pengangkut gabah yang juga  sebentar lagi akan tersingkirkan oleh mesin pengangkut gabah.

Keramaian dan keheningan juga sering ditemukan di sekolah ini. Hening, ketika para siswa yang mungkin sedang konsentrasi mendengar penjelasan guru, atau juga dikarenakan pikiran mereka ada di sebuah tempat terbuka di luar kelas. Di kelas lain tepat berada disebelah mereka, suasana lebih ramai. Ternyata karena tidak adanya guru. Rupanya kelas harus mengantri giliran kunjungan guru mereka, dikarenakan keterbatasan jumlah guru tetap yang dimiliki sekolah.

Letih karena harus berkeliling dari kelas tidak akan keluar dari lisan guru-guru mereka. Mereka sudah terbiasa. Sejak sekolah ini dibangun pada tahun 2007, satu-persatu guru-guru harus terseleksi oleh “alam”. Yang tersisa hanya empat orang guru tetap, yang juga berprofesi sebagai petani di Desa ini. Berkeliling beberapa meter di atas ubin, tentunya tidak seletih memotong rumput untuk pakan ternak dan mencabut tanaman pengganggu di sawah mereka.

Di tepi lapangan, selain bangunan kelas juga terdapat empat deretan rumah yang dibangun sebagai tempat tinggal para guru. Tiga diantaranya kosong dan terlihat sudah lama tidak dihuni. Hanya satu rumah yang ditinggali oleh seorang nenek penjual jajanan bagi anak-anak sekolah.

Di sekolah ini tidak terdapat kantin yang menyajikan makanan sehat yang telah distandarisasi untuk dikonsumsi oleh anak sekolah. Hanya ada nenek yang menjual jajanan yang mengandung MSG atau roti tawar yang diolesi susu kental coklat. Ia juga menyiapkan air minum di dalam Jirigen plastik yang disiapkan secara cuma-cuma.

Sepertinya Si nenek tidak sadar bahwa apa yang Ia tawarkan ke anak-anak sekolah bisa melemahkan daya kerja otak anak. Namun, kita tidak boleh menghakimi ketidaktahuan nenek yang mencari nafkah untuk hidup seorang diri dirumah itu. Bukankah pemerintah sudah menetapkan standar? Atau standarisasi yang mereka maksud hanyalah bongkahan-bongkahan fisik yang temboknya dicat putih dan beratap merah? Atau standarisasi ujian nasional yang nyata-nyata tidak sesuai dengan kebutuhan desa? 

Diakhir tulisan ini, kepulan asap tembakau belum juga mengkanalisasi ide menjadi sebuah rencana yang akan saya bawa kedepannya. Tanda tanya yang begitu banyak dipikiran hanya membuat saya marah kepada sebuah sistem yang memaksa kita untuk men-formalisasi segala ruang dikehidupan kita, termasuk pendidikan. Mungkin saya harus lebih banyak menemukan gairah yang lahir di Desa ini. Karena refleksi hanya hadir dari sebuah gairah yang kita rasakan dimasa lalu. Bukan hari ini.

-Ibnul Hayat-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar