Massangki’, salah satu tahap dari
serangkaian proses menanam dan memanen padi dikebanyakan desa pelosok, juga
Desa Tassese’. Bulan April-Mei ini adalah saat-saat sibuk bagi Tassese, sebuah
desa kecil dengan semangat yang besar di ujung Kecamatan Mannuju, dekat Gunung
Bawakaraeng, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Mereka tengah dimasa panen.
Petak-petak ladang sawah yang tersebar mengelilingi desa sudah menguning.
Petak-petak sawah yang menguning itu kemudian mengantri untuk dieksekusi
masing-masing. Tahap pertamanya disebut massangki’.
Sangat
jarang bisa kita temui ada dua atau lebih petak sawah yang dikerja dalam waktu
bersamaan. Di desa ini ada sangat banyak petak sawah. Hal itu didukung dengan
profesi hampir setiap warganya memang petani. Bahkan, anak kecil pun banyak
yang bangga menyebut dirinya seorang calon petani, sebagian malah tidak ragu
lagi. “Petanika saya, kak!” kata
mereka.
Dalam
proses massangki’, setiap warga desa,
tanpa diminta, akan dengan ikhlas berkumpul di lokasi sawah yang akan di sangki’ pada hari itu. Dalam proses ini,
tanaman padi yang telah menguning kemudian akan dipotong sedikit demi sedikit.
Setelah satu petak sawah habis terpanen, tanaman-tanaman padi yang telah
dipotong tadi kemudian diolah menggunakan sebuah mesin yang secara otomatis
berfungsi untuk memisahkan gabah bersih dengan batang dan daunnya. Setelah
gabah terpisah dan terkumpul, butir-butir gabah itu kemudian dikumpul dalam
beberapa karung. Gabah dalam karung tersebut kemudian menunggu untuk diangkut
ke rumah petani yang petak sawahnya telah di sangki’.
Warga-warga
yang membantunya massangki’,
memisahkan, dan mengangkat gabah itu tidak digaji. Mereka melakukannya secara
sukarela. Ada kenikmatan tersendiri dengan berkumpul di tengah ladang setelah
berolahraga alami dan berjemur di bawah terik seharian untuk massangki’. Berkumpul sambil makan nasi,
songkolo’ (beras ketan), ikan asin,
dan sayur bening, ditemani kopi hitam dan beberapa tembakau. Nikmat. Ini wajah
solidaritas dan kerja sama warga yang nyata dan sangat bermakna.
Kegiatan
ini sering disebut “Arisan Petani” oleh warga setempat. Saat ini memang saat yang
ditunggu-tunggu, juga oleh beberapa anak-anak.
Namanya
Aco. Anak kelas 5 SD Tassese’. Anak dari Pak Lawang, salah satu guru yang tinggal
menetap di Desa Tassese. Dia sudah seperti adik ku, adik kawan-kawan di PILAR.
Bagaimana tidak, setiap harinya, jika di Tassese, rumahnya selau saja menjadi
tempat kami berkumpul dan tidur melepas penat.